Cai Di Raga, Esensi dari Coet Tanah Liat yang Hampir Tak Terlihat
Cirebon,- Setelah dua tahun vakum akibat pandemi COVID-19, Helaran Budaya Cai Di Raga kembali diselenggarakan Komunitas Weringin Midang Jati kali ini bertemakan “Coet, Tanah Liat Yang Hampir Tak Terlihat”, Jumat – Minggu (19 -21/08/2022)
Meski helaran budaya ini diperuntukkan masyarakat setempat untuk mengobati trauma dari bencana banjir Ciledug tahun 2018. Rupanya helaran budaya ini menjadi kegiatan rutin yang juga sekaligus diperuntukkan untuk mewariskan nilai-nilai seni dan budaya.
Sesuai dengan temanya, “Coet, Tanah Liat Yang Hampir Tak Terlihat,” merupakan tema yang diusung akibat keresahan Komunitas Weringin Midang Jati atas menipisnya muda-mudi dalam meneruskan kerajinan coet khas Jatiseeng Kabupaten Cirebon yang sudah ratusan tahun.
“Jadi, tema kali ini memang berkaitan dengan kerajinan coet yang hampir memudar di generasi muda. Karena sulitnya dalam menjual, dan proses membuatnya,” kata penasehat acara Cai di Raga Mbah Roni, pada saat ditemui di Jatiseeng, Ciledug Lor.
Berbagai upaya sedang dilakukan, termasuk menjadikan coet tidak hanya sekedar alat masak atau tempat makan tahu gejrot yang juga berasal dari Jatiseeng. Coet, menurutnya, harus dapat diupayakan masuk pasar luar negeri sebagai sebuah seni.
“Kalau di luar negeri, seperti Eropa sudah tidak lagi mereka melihat gerabah sebagai alat masak, tapi karya seni, jadi tentu kita harapan dan targetnya kesana,” ujarnya.
Generasi yang tersisa saat ini, dikatakannya hanya tersisa satu keluarga tepatnya di Jatiseeng, Ciledug Lor. Meski begitu, terus diupayakan pihaknya bersama dengan beberapa komunitas lintas budaya, lintas agama, etnis, bergotong royong mempertahankan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki Jatiseeng, Ciledug Lor.
Harapannya tentu, dengan upaya tersebut pihak Mbah Roni juga pemuda-pemudi setempat dapat mempertahankan nilai-nilai yang ada terus hingga generasi berikutnya. (SUB)