Mewujudkan Pembangunan Industri yang Kuat dan Mandiri

Penulis : Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka)

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membawa sejumlah kerja sama hasil dari perjalanan dinas luar negeri selama sepekan ke Belanda, Glasgow dan Dubai pada awal November lalu. Proyek besar yang dibidik dari investor Timur Tengah, adalah proyek pembangunan Metropolitan Rebana dan Jabar selatan yang telah mendapatkan kepastian hukum lewat Perpres Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan.

Dari beberapa proyek di Rebana, pengembangan aerocity seluas 3.000 hektar di kawasan Bandar Udara Internasional Kertajati jadi prioritas. “Rencana terbesar sebenarnya adalah membangun Rebana, karena kalau berhasil akan ada 13 kota baru. Akan hadir lima juta lapangan pekerjaan memberikan bonus 2-3 persen pertumbuhan ekonomi,” papar Emil. (republika, 11/11/2021)

Saat ini pembangunan berbasis Industri seakan menjadi kebutuhan. Namun sayang karena ketidaksiapan modal maka para pengambil kebijakan mengambil pilihan mencari investor hingga keluar negeri. Padahal hal ini akan menjadi ancaman bagi kedaulatan negeri. Karena menjadi jalan para pemilik modal menguasai negeri.

Memang untuk membangun industri mandiri memerlukan investasi yang besar. Di negara pengemban kapitalisme, investasi itu biasa didapatkan dari dana pinjaman atau divestasi saham kepemilikan ke publik. Ketika para investor asing masuk ke negeri muslim, mereka menginginkan sistem yang sama. Alhasil, industri besar mayoritas dimiliki kapitalis besar yang notabene asing.

BACA YUK:  Wow, Realisasi Dana CSR Jabar Naik Jadi Rp251 Miliar

Selama paradigma kapitalisme yang dipakai, ekonomi negara tak akan pernah bisa mandiri. Fakta ini makin mengukuhkan jahatnya kapitalisme. Bagai hukum rimba: yang kuat bertahan, yang lemah siap-siap di ambang kebangkrutan. Disamping itu, peran negara dalam sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator saja.

Jika industri bangkrut, pekerja pun tersangkut. Mereka terancam kehilangan mata pencaharian. Jika menganggur, apa yang akan mereka berikan pada keluarganya? Sampai tahap ini, negara berperankah? Yang ada kebijakan penguasa justru menambah beban hidup masyarakat.

Sudahlah kebutuhan dasar tak dipenuhi, cari kerja usaha sendiri, industri pun harus bertahan secara mandiri. Semua karena liberalisasi pasar, kebijakan neoliberal, dan penguasa yang hanya mementingkan kepentingan kapitalis.

Sungguh jauh berbeda dengan paradigma Islam. Negara hadir bertujuan melindungi dan memelihara jiwa, akal, harta, agama, nasab, dan keamanan. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan mewujudkan tujuan diterapkannya syariat, yaitu merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-‘ibâd), baik urusan dunia maupun urusan akhirat mereka.

BACA YUK:  Kapolres Cirebon Kota Gelar Tarhim di Masjid Adz Dzikra

Merujuk artikel Prof. Fahmi Amhar berjudul “Politik Perindustrian dalam Islam”, Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.

Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun nonmuslim. Tidak ada artinya produksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama, untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, padahal itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Pada saat yang sama, perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun ofensif, baik yang sifatnya nonfisik maupun fisik. Dari sisi nonfisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikit pun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.

BACA YUK:  Buka Puasa di Swiss-Belhotel Cirebon, Bisa Dapat Hadiah Menginap

Adapun industri berat seperti baja misalnya, di mana penggunaannya sangat menyokong pembangunan infrastruktur, maka negara tidak boleh mengapitalisasi atau meliberalisasinya. Negara wajib mengelola secara mandiri. Tidak boleh bergantung pada impor atau menguasakan industri tersebut kepada swasta atau asing.

Sebab, Islam menetapkan sejumlah sumber daya tak bisa dimiliki individu. Jika kepemilikannya milik umum, negaralah yang menjadi pengelolanya. Negara pula yang mengatur dari produksi bahan bakunya hingga distribusinya. Industri negara haruslah tangguh. Politiknya kuat, ekonominya mandiri.

Alhasil, membangun kemandirian industri hanya bisa terwujud jika negara mengubah sistem dan pola pengaturan kehidupan kepada Islam. Hanya satu harapan untuk mewujudkan kemandirian negara. Tinggalkan kapitalisme, terapkan syariat kafah dalam bingkai negara. Karena, hanya Islam lah yang mampu mewujudkan pembangunan industri yang kuat, mandiri dan maslahat bagi umat.

Wallahu a’lam bishshawab.

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *