Maghrib Mengaji Dalam Tradisi Kesultanan Cirebon

Penulis : Syaeful Badar (Marbot Masjid Raya At Taqwa dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Kerajaan Caruban Nagari atau Negara Gede didirikan tahun 1400an yang dipimpin oleh Sri Mangana Pangeran Cakrabuana atau Walang Sungsang, putra pertama dari pernikahan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Galuh Pakuan dengan Nyi Mas Subang Larang, putri Ki Jumanjati, syahbandar Pelabuhan Internasional Muara Jati, yang terletak di bumi tatar sunda di ujung utara, merupakan kerajaan yang memiliki tradisi kuat dalam gerakan maghrib mengaji, yang pada saat itu di awali dengan datangnya guru ngaji pertama. Seorang ulama dari negeri Champa Melayu Cina yaitu Syekh Hasanudin atau di kenal dengan Syekh Quro. Kedatangan Syekh Quro di Keratuan atau Keraton Singhapura dan Keratuan Surantaka di bumi tatar sunda ujung utara, menjadi titik awal tradisi belajar ngaji bagi putra-putra keraton, salah satu muridnya adalah Nyi Mas Subang Larang.

Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Subang Larang melahirkan tiga orang anak, yaitu Walang Sungsang (Cakrabuana), Nyi Mas Rara Santang (Syarifah Mudaim) dan Kian Santang (Raden Sangara). Dari ketiga anak tersebut selanjutnya Walang Sungsang dan Nyi Mas Rara Santang menjadi murid ngajinya Syekh Nurjati atau Syekh Maulana Idhofi atau Syekh Datul Kahfi, seorang ulama dari Baghdag (Irak) yang meneruskan menjadi guru ngaji menggantikan Syekh Quro yang pindah mendirikan Pesantren di Kabupaten Karawang. Walang Sungsang dan Nyi Mas Rara Santang menjadi santri di Pengguron Pasambangan Jati kawasan puser bumi alas konda Gunung Djati, sebelah selatan Pelabuhan Internasional Muara Jati. Salah satu bukti catatan sejarah bahwa Magrib Mengaji sudah dilakukan pada Pengguron Pasambangan Jati adalah adanya gelar Syekh Nurjati untuk Syekh Maulana Idhofi atau Syekh Datul Kahfi, istilah Nurjati yang di berikan olah masyarakat pada saat itu karena ketika malam hari melihat adanya sinar lampu dari menara atau mercusuar di pelabuhan Muara Jati yang di bangun oleh Laksmana Cheng Ho, diplomat dari Cina/Tiongkok. Sinar lampu dari Mercusuar tersebut menyinari pohon jati yang ada di bukit Gunung Jati, dimana diatas bukit tersebut terdapat para santri yang sedang mengaji bersama Syekh Maulana Idhofi di bukit Amparan Jati Pengguron Pasambangan Jati. Begitu melihat indahnya suasana setelah maghrib sambil mendengarkan para santri membaca al Qur’an di sinari oleh lampu Mercusuar Pelabuhan Muara Jati dan lambaian pohon-pohon jati yang berdiri tegak, maka masyarakat mengidentikan suasana tersebut dengan sosok Syekh Maulana Idhofi sebagai pancaran cahaya dari Gunung Jati, sehingga muncul sebutan Syekh Nurjati (cahaya dari pohon jati) untuk Syekh Maulana Idhofi atau Syekh Datul Kahfi, guru ngaji bagi putra-putrinya Prabu Siliwangi raja dari Kerajaan Galuh Pakuan yang berlokasi di Kawali Kabupaten Ciamis Jawa Barat.

BACA YUK:  Selama Libur Isra Miraj dan Imlek 2024, Daop 3 Cirebon Berangkatkan 24.803 Penumpang

Tradisi maghrib mengaji yang di awali oleh Syekh Quro dan Syekh Nurjati dilanjutkan oleh Pangeran Cakrabuana, raja Kerajaan Caruban Nagari yaitu dengan membangun Tajug Pejlagrahan di samping Keraton Pakungwati yaitu keraton pusat pemerintahan Caruban Nagari. Di Tajug tersebut Pangeran Cakrabuana mengajarkan ngaji kepada putrinya yang bernama Pakungwati, kerabat keraton dan juga masyarakat di sekitar keraton. Tajug Pejlagrahan yang merupakan masjid pertama yang di bangun di komplek Keraton Pakungwati hingga kini masih terawat dengan baik, bahkan dua sumur keramat yaitu sumur Lanang dan sumur Wadon menjadi sumber mata airnya langsung dari Gunung Ciremai sampai saat ini masih mengalir dengan baik, bahkan menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di sekitar Tajug Pejlagrahan tersebut.

Kehadiran Syekh Syarif Hidayatullah, putra dari Sultan Mesir Pangeran Abdullah yang menikah dengan Nyi Mas Rarasantang, putri Prabu Siliwangi menjadikan tradisi mengaji di Kerajaan Caruban Nagari semakin eksis dan menjadi gerakan bagi masyarakat pada saat itu. Apalagi setelah Pangeran Cakrabuana menyerahkan tahta kerajaan di berikan kepada Syekh Syarif Hidayatullah yang keponakan sekaligus mantu, suami dari Nyi Mas Pakungwati di angkat menjadi Sultan Kesultanan Islam Cirebon. Nama Kerajaan Caruban Nagari di rubah menjadi Kesultanan Islam Cirebon setelah dipimpin oleh Syekh Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Pertama sekaligus sebagai ulama meneruskan jejak Syekh Quro dan Syekh Nurjati melanjutkan tradisi maghrib mengaji di pengguron Pasambangan Jati. Dari Sembilan Wali yang ada di Jawa, hanya satu orang wali yang bergelar ulama dan sultan, yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, disebut juga dengan gelar Susuhunan Jati Penata Agama Ing Tanah Sunda, karena mendapat tugas untuk mensiarkan Islam di tatar bumi Sunda.

Kesultanan Islam Cirebon. Sultan Syarif Hidayatullah kemudian mengembangkan pembangunan Keraton Pakungwati (kini Keraton Kesepuhan Cirebon) dengan melengkapi adanya bangunan Langgar Alit dan Langgar Agung di area dalam keraton Pakungwati. Langgar Alit berfungsi sebagai tempat untuk belajar ngaji keluarga dalam keraton, sedangkan Langgar Agung berfungsi untuk belajar ngaji masyarakat sekitar keraton. Hingga kini di Langgar Alit setiap bulan Ramadhan dijadikan tempat untuk tadarusan atau ngaji Qur’an selama malam bulan Ramadhan. Sultan Cirebon juga membangun Tajug terbesar di area depan bangunan keraton Kesultanan Cirebon, yaitu Tajug Pakungwati atau terkenal dengan nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Pembangunan masjid ini di bantu oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang serta arsitekturnya Raden Sepat salah satu prajurit Majapahit yang menjadi murid ngajinya Sunan Kalijaga.

BACA YUK:  Polresta Cirebon Resmikan Gedung Layanan Khusus Perempuan dan Anak

Fungsi Tajug Pakungwati atau Masjid Agung Sang Cipta oleh Sultan Cirebon Sunan Gunung Jati, masjid tersebut juga di fungsikan tidak hanya sebagai pusat syiar dakwah tetapi juga sebagai pusat Pemerintahan Kesultanan Cirebon. Salah satu tradisi bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai pusat pengelolaan pemerintahan Kesultanan Cirebon adalah tradisi Seba Kliwonan. Yaitu sebuah tradisi dimana setiap hari Kamis Malam Jum’at Kliwon di adakan pertemuan para pembesar Kesultanan Cirebon, dari mulai Ki Kuwu, Ki Gede, Adipati, Temunggung, Jaksa Agung, Panglima Kesultanan, Keluarga Kesultanan dan juga para perwakilan kerajaan di wilayah Kesultanan Cirebon. Kegiatan seba Kliwonan dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa mulai ba’da sholat Isya sampai malam, sehingga tidak mengherankan jika setiap Kamis Malam Jum’at Kliwon sampai hari ini banyak masyarakat dari Pulau Jawa dan Nusantara banyak berdatangan ke Cirebon untuk beribadah ziarah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau Tajug Pakungwati.

Tradisi membangun Tajug (di tata dan di jugjug) atau Masjid juga dilakukan oleh para ulama yang datang ke Kesultanan Cirebon, seperti Syekh Syarif Abdurahman, mendirikan Tajug Abang Pangeran Panjunan, Syekh Syarif Abdurahim mendirikan Tajug Agung Pangeran Kejaksan, Temenggung Jaga Baya, salah seorang Panglima Kerajaan Galuh Pajajaran juga mendirikan Tajug Jagabayan atau lebih khas di sebut Masjid Tolak Bala. Para ulama tersebut lebih dahulu membangun Tajug dibanding membangun rumah tinggal, karena dengan mendirikan Tajug bisa menjadi multi fungsi, yaitu sebagai tempat untuk mengajar ngaji juga tempat untuk berdakwah serta sebagai tempat istirahat. Bangunan tajug atau masjid-masjid kuno tersebut yang di bangun pada abad 14, hingga kini masih kokoh berdiri di wilayah Kota Cirebon.

Tradisi maghrib mengaji yang di kembangkan oleh keluarga Kesultanan Cirebon terus dilakukan sampai Kesultanan Cirebon menjadi 4 keraton, yaitu keraton Kesepuhan, keraton Kanoman, keraton Kacerbonan dan Keraton Kaprabonan. Yaitu dengan melibatkan para pesantren yang ada di wilayah Kesultanan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan Cirebon mengembangkan strategi dakwahnya dengan memerankan fungsi Keraton dan Pesantren. Karena pesantren atau pengguron itu sudah ada sejak Syekh Quro dan Syekh Nurjati mengajar ngaji di Kerajaan Caruban Nagari. Bahkan Sunan Gunung Jati menjagi guru besar ke empat yang menjadi guru ngaji di Pengguron Pasambangan Jati, setelah Syekh Quro, Syekh Nurjati, Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Sunan Gunung Jati. Tradisi pesantren menjadi bagian dari tradisi keraton dalam mensyiarkan Islam, baik untuk keluarga keraton juga masyarakat.

BACA YUK:  Jelang Buka Puasa, Kawasan Jalan Moh. Toha Kota Cirebon Semakin Dipadati Pengunjung

Bupati Cirebon periode 1902-1918 Raden Adipati (RA) Salmon Salam Soerdjadiningrat (Putra Adipati Surjadirja, Bupati Cirebon periode 1847-1877). Tahun 1905 RA Salmon Salam Soerdjadiningrat, membangun pendopo kantor bupati, alun-alun dan membangun Tajug Agung yang kini menjadi Masjid Raya At Taqwa Kota Cirebon. Salah satu tujuan di bangun Tajug Agung oleh Bupati Cirebon adalah sebagai sarana untuk beribadah bagi staf dan karyawan kantor Bupati juga untuk aktivitas dakwah masyarakat Cirebon pada saat itu. Sehingga sejak penulis (Syaeful Badar) aktif menjadi aktivis remaja masjid di Masjid Raya At Taqwa Kota Cirebon pada tahun 1980an, tradisi maghrib mengaji sudah ada dan berjalan setiap hari, di mulai setelah sholat Maghrib sampai menjelang sholat Isya.

Kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Raya At Taqwa dilakukan setiap hari, mulai dari sehabis sholat Maghrib sampai jelang sholat Isya dengan melibatkan anak-anak yang ada tinggal di sekitar masjid. Adapun sebagai guru ngaji sebagian besar adalah aktivis remaja masjid dengan didampingi oleh para ulama dan kyai, salah satunya adalah KH. Syarif Muhamad Yahya bin Syech, Pengasuh Pondok Pesantren Jagasatru Cirebon. Bentuk pengajaran sistem hafalan, terutama surat Qur’an juz 30, disamping juga hafalan Surat Yasin, serta hafalan bacaan yang dibaca saat sholat. Setiap guru ngaji harus melaporkan kegiatan murid ngajinya kepada kordinator atau ketua remaja masjid, sekaligus sebagai evaluasi dari hasil hafalan tersebut. Sistem ini berjalan sesuai dengan kemampuan manajemen yang ada pada saat itu. Dan sebagai momen siar maghrib mengaji, maka melalui Forum Komunikasi Remaja Masjid (FKRM) Kota Cirebon setiap tahun di mulai pada tahun 1987 menggelar kegiatan Festival Anak-Anak Masjid dan Jambore Anak-Anak Islam Cirebon, sebagai ajang prestasi dan rekreasi para guru ngaji dan muridnya. Bahkan secara nasional pada tahun 1990 di gelar FOSIPPA (Forum Silaturahim Pengasuh Pengajian Anak) yaitu para pengasuh pengajian anak-anak yang berbasis di Masjid. Kegiatan FOSIPPA tahun 1990 bertempat Gedung Asia Afrika Bandung.

Maka jika pada tahun 2021 melalui LP2M IAIN Syekh Nurjati Cirebon, bekerjasama dengan Pemerintah Kota Cirebon, LPTQ dan Masjid Raya At Taqwa Kota Cirebon, mengadakan KKN Gemmar Mengaji dan At Taqwa Best Award 2021 serta Launching Gerakan Maghrib Mengaji Kota Cirebon. Ini adalah bukti komitmen masyarakat Kota Cirebon untuk terus mentradisikan Maghrib Mengaji sebagai budaya masyarakat Cirebon dalam melestarikan tradisi belajar ngaji yang di wariskan oleh Syekh Quro, Syekh Nurjati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati. (Dari berbagai sumber). (Bersambung)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *