Rumah Rengganis Gelar Diskusi Budaya Tentang Dialek Cirebon

Cirebon,- Perdebatan Bahasan Cirebon sebagai bahasa yang mandiri atau dialek, sudah mengalami diskursus yang cukup panjang. Bahkan beberapa kajian linguistik menyatakan bahasa Cirebon hanyalah dialek. Namun hal itu dipertentangkan oleh peneliti lain yang mengarah pada banyaknya perbedaan bahasa Cirebon dan Jawa.

Untuk itu, Rumah Rengganis, menggelar diskusi dengan menghadirkan budayawan dan praktisi seperti Made Casta, Edeng Syamsul Ma’arif, dan Imam Emje untuk menelisik dan menyusuri akar rumput bahasa sebagai kajian dan referensi budaya Cirebon. Kegiatan ini berlangsung di Rumah Rengganis, Jalan Lapangan Udara No. 30, Pengung Selatan, Kota Cirebon, Jumat (25/8/2023).

Menurut Made Casta, untuk ukuran bahasa Cirebon itu dialek atau mandiri memiliki dua kubu. Ada kubu yang menyebut bahasa Cirebon adalah dialek dengan ukuran tertentu, seperti contoh Bale Bahasa yang menyebut kurang dari 80 persen. Namun, kata Casta, itu adalah angka-angka, dalam kebenaran ilmu ada banyak kedekatan.

“Sedangkan kubu lain, Cirebon adalah bahasa mandiri. Tetapi terlepas dari persoalan itu, saya memandang kita tidak adil ketika kultur Cirebon dilihat hanya dari seberapa elemen bahasa itu kemudian mengabaikan unsur kebudayaan yang lainnya,” ujar Casta.

BACA YUK:  Kampoeng Ramadan Aston Cirebon Hotel Bakal Sajikan Lebih Dari 225 Menu

Orang Jawa, orang Sunda, kata Casta, akan melihat Cirebon dengan kulturnya akan berbeda dengan mereka. Secara kontrukis kebudayaan banyak penanda-penanda yang membedakan keduanya. Tapi, harus diakui Cirebon hasil ramuan dari Sunda dan Jawa, sehingga tidak bisa memilih dari jumlah angka.

“Saya memandangnya, Cirebon sudah menjadi kemandirian kultur dan didalamnya termasuk kemandirian bangsa. Kultur yang sudah mandiri itu, pasti yang lainnya sudah mandiri seperti halnya wayang Cirebon berbeda dengan wayang Jawa, termasuk juga dibahasa,” jelasnya.

“Sastra Cirebon juga memiliki kekhasan, seperti Tarling (gitar suling) tidak ada di daerah lain. Artinya saya melihat, tidak penting untuk memposisikan suatu bahasa, kemudian mereduksi sementara secara politis kita sudah dikukuhkan dengan peraturan daerah, sudah dikukuhkan dengan hasil Kongres, namun yang penting suatu kultur kebudayaan itu terpenting adalah bagaimana pembinaannya menjadi bahasa yang lebih bermartabat,” sambungnya.

Hal ini, menurut Casta, harus menjadi pemikiran bersama bahwa yang harus didorong bukan kebenaran dialek atau bukan dialek. Tetapi, bagaiaman bahasa itu dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu, kepentingan ekspresi, dan kepentingan bahasa komunikatif, serta lebih bermartabat.

BACA YUK:  Satlantas Polres Cirebon Kota Gandeng Pendongeng Terkenal Kota Cirebon Hibur Pemudik

“Saya kira itu sebetulnya. Jadi tidak menarik untuk mendiskusikan dialek atau bukan dialek, tapi bagaimana dari suatu pengguna bahasa Cirebon menghasilkan beberapa karya-karya yang bernilai estetis seperti sastra. Kemudian bagaimana karya-karya yang melahirkan bahasa yang dipakai untuk bahasa ilmiah,” pungkasnya.

Sementara itu, Imam Emje yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut bahwa secara kelembagaan miliknya Sketsa Pribumi telah memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pemuda dan anak-anak SMP, SMA, bahkan mahasiswa tentang pembelajaran penulisan bahasa Cirebon, puisi bahasa Cirebon.

“Kita sudah menerbitkan sekitar 3 buku kumpulan puisi bahasa Cirebon yang berasal dari karya anak-anak. Dan tahun ini, kumpulan cerita cindek dan puisi akan terbit. Itu semua yang menulis anak-anak muda, sebagai langkah saya untuk menjaga dan melestarikan bahasa Cirebon,” ujarnya.

Lembaga Sketsa Pribumi, kata Imam, berkeinginan membuat laboratorium bahasa Cirebon yang didalamnya terdapat lab penelitian, observasi, konservasi bahasa, revitalisasi bahasa, bahkan sampai dokumentasi bahasa.

BACA YUK:  Waspada DBD, Kasus DBD di Kota Cirebon Naik Signifikan

“Lab ini nantinya bisa menjadi rujukan atau pusat studi teman-teman pelestari bahasa Cirebon. Dari dokumentasi, kita akan membuat rekaman dialek-dialek dari berbagai daerah di Cirebon, hal ini untuk menujukan kekayaan kita. Sekarang kita sedang merintis itu dan kita masuk ke wilayah kampus yang bertujuan untuk membentuk relawan-relawan bahasa Cirebon,” tandasnya.

Selain itu, Nissa Rengganis mejelaskan Rumah Rengganis ini bisa menjadi tempat untuk diskusi. Seperti kali ini, diskusi tentang penurunan pemaknaan bahasa Cirebon bukan sebagai bahasa mandiri. Dan Rumah Rengganis bisa dijadikan tempat untuk berkarya, terutama soal pembacaan puisi bahasa Cirebon.

“Ke depan, harapanya kami Rumah Rengganis bisa memfasilitasi untuk workshop-workshop tulisan bahas Cirebon. Karena disini banyak sekali teman-teman muda tidak kenal dengan bahasa ibu nya. Sehingga kami mengundang para budayawan untuk memanasi para anak muda,” katanya.

Untuk melestarikan bahasa Cirebon, Rumah Rengganis juga berharap para anak-anak muda bisa mengirimkan karya-karya mereka dengan menggunakan bahasa Cirebon. (HSY)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *