Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Cirebon Perlu Dioptimalkan dan Dukungan Banyak Pihak

Cirebon,- Sejak tahun 2021, Kabupaten Cirebon telah menetapkan 36 desa wisata melalui SK Bupati Cirebon. Berbagai desa wisata tersebut dikembangkan dengan tema/basis yang beragam, seperti wisata alam, buatan/kreatif, budaya, religi, seni, budaya, hingga olahraga.

Dari 36 desa wisata di Kabupaten Cirebon, sebanyak 22 desa wisata dikembangkan dengan basis destinasi wisata yang melibatkan alam, seperti agrowisata, perkemahan, ekowisata mangrove, river tubing, wisata arung jeram, dan sebagainya.

Widyastuti, SKM, Perencana Ahli Muda pada Bappelitbangda Kabupaten Cirebon menjelaskan pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis pengembangan desa wisata tentu memberikan tantangan. Mengingat resiko kerusakan alam yang dapat terjadi.

“Meski demikian, pengelolaan sumber daya alam yang tepat, terbukti memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan ke Kabupaten Cirebon dan mengembangkan desa wisata,” ujar Widyastuti saat dihubungi About Cirebon, Rabu (3/7/2024).

Berdasarkan data dari Disbudpar Kabupaten Cirebon, kata Widyastuti, pada tahun 2022 kunjungan wisatawan ke Kabupaten Cirebon mencapai 691.975 kunjungan. Total tersebut terdiri dari 9.031 wisatawan mancanegara (wisman) dan 682.944 wisatawan nusantara (wisnus).

“Jenis destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi yaitu wisata religi, wisata alam dan buatan, serta wisata belanja,” katanya.

Beberapa destinasi wisata religi yang diunggulkan di antaranya adalah Makam Sunan Gunung Jati sebanyak 8.674 pengunjung, Kramat Mbah Kepala Desa Sangkan 7.208 pengunjung, dan Makam Syech Magelung Sakti sebanyak 1.437 Pengunjung.

BACA YUK:  Selama Libur Lebaran 2024, Kunjungan Wisatawan ke Kota Cirebon Meningkat

Kemudian, wisata alam dan buatan yang diunggulkan antara lain Banyu Panas sebanyak 5.537 pengunjung, Kura-Kura Belawa 1.401 pengunjung, dan Mangrove Caplok Barong Ambulu (254 pengunjung).

Adapun wisata belanja meliputi Pasar Batik sebanyak 267 pengunjung. Destinasi wisata ini tersebar di berbagai desa wisata di Kabupaten Cirebon.

“Berdasarkan Pedoman Desa Wisata yang diterbitkan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, desa wisata diklasifikasikan menjadi 4 kategori. Terdiri rintisan, berkembang, maju, dan mandiri,” ungkapnya.

Penentuan klasifikasi tersebut, menurut Widyastuti, ditentukan berdasarkan indikator dasar jumlah kunjungan, industri pariwisata yang berkembang, kesiapan skill dan sumber daya manusia (SDM), diversifikasi produk dan aktivitas wisata, serta amenitas pariwisata.

“Hingga hari ini, berdasarkan SK Bupati Cirebon, Kabupaten Cirebon telah menetapkan 3 desa wisata dengan klasifikasi berkembang dan 33 desa wisata dengan klasifikasi rintisan,” jelasnya.

“Faktanya belum ada satupun desa wisata yang naik ke klasifikasi lebih tinggi sejak pertama kali ditetapkan, mengindikasikan adanya masalah dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Cirebon,” sambungnya.

Berdasarkan hasil analisis, kata Widyastuti, masalah umum dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Cirebon dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu kurangnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), terkendalanya proses pencarian dana, dan peraturan & kebijakan yang saling bertentangan.

Kurangnya kapasitas SDM, menurut Widyastuti, masalah pertama yang berhasil diidentifikasi pada pengembangan desa wisata di Kabupaten Cirebon. Hal ini tercermin dari kurangnya kemandirian masyarakat setempat dalam pengelolaan/manajemen desa wisata.

BACA YUK:  Ketua DPRD Kota Cirebon Sebut RPJPD 2025-2045 Menentukan Arah Pembangunan Kota Cirebon

Dalam hal pendanaan, Pemerintah Kabupaten Cirebon memfasilitasi pembentukan desa wisata melalui pemberian stimulan. Stimulan dana ini dialokasikan oleh Pemkab Cirebon dalam bantuan keuangan desa khusus (Bankeudesus) sebesar Rp200.000.000, dengan sharing dari Anggaran Dana Desa (ADD) sebesar 20% dari sekitar Rp200.000.000.

Selanjutnya, desa wisata diharapkan dapat secara mandiri mencari sumber pendanaan lain, misalnya dari Pajak Retribusi (Paret), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), maupun pelibatan pihak swasta sebagai investor. Karena ekspektasi pencarian sumber dana secara mandiri, berbagai desa wisata pun melakukan usaha-usaha fundraising.

“Permasalahan pendanaan ini secara langsung maupun tidak langsung dapat berdampak pada terbatasnya pembangunan sarana dan prasarana (sarpras), pengembangan kawasan desa wisata, maupun kurangnya media promosi. Akibatnya, kunjungan wisata pun jadi tidak terlalu ramai dan usaha pengembangan desa wisata pun menjadi terhambat,” bebernya.

Terhambatnya proses perizinan yang terjadi di desa yang telah sah ditetapkan sebagai desa wisata, merupakan isu yang serius dan perlu didalami. Di Kabupaten Cirebon, alotnya pengajuan izin untuk kegiatan pariwisata umumnya terjadi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam.

“Berdasarkan hasil analisis, desa wisata di Kabupaten Cirebon sulit berkembang umumnya ditandai dengan sejumlah gejala, yaitu terbatasnya pengembangan sarpras, belum optimalnya pengembangan potensi wisata di desa, kurangnya kemandirian pengelolaan/manajemen desa wisata oleh masyarakat, dan masih sedikitnya wisatawan yang berkunjung,” ujarnya.

BACA YUK:  Antrean Online Mobile JKN Berikan Kepastian Layanan di Fasilitas Kesehatan

Fenomena terhambatnya pengembangan desa wisata di Kabupaten Cirebon merupakan isu yang nyata dan penting untuk dikaji. Hasil analisis menyimpulkan, kata Widyastuti, akar masalah yang menyebabkan fenomena tersebut berkaitan dengan kurangnya kapasitas SDM dan peraturan & kebijakan yang saling bertentangan.

Dalam hal ini, kurangnya kapasitas SDM dinilai sebagai tantangan komunikasi yang dapat diatasi melalui pembentukan forum peningkatan kapasitas SDM di desa. Di sisi lain, masalah peraturan & kebijakan yang saling bertentangan merupakan akar masalah yang perlu ditangani pemerintah dengan menentukan kebijakan yang tepat.

“Penyelesaian akar masalah terkait kebijakan ini sangat penting karena dapat menyebabkan efek domino yang berakhir pada terhambatnya pengembangan desa wisata di Kabupaten Cirebon,” jelasnya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pihaknya mengusulkan agar dalam proses penetapan desa wisata, tahap verifikasi dan uji kelayakan perlu dioptimalisasi dengan melibatkan langsung OPD maupun organisasi-organisasi lainnya yang terkait dengan pengembangan desa wisata tersebut.

“Secara spefisik, selain OPD terkait, direkomendasikan agar tahap verifikasi dan uji kelayakan secara langsung melibatkan BBWS dan/atau organisasi terkait lingkungan lainnya dan tenaga ahli untuk memberikan masukan terkait pembangunan desa wisata,” pungkasnya. (HSY)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *