Tradisi Panjang Jimat Muncul Sejak Masa Pemerintahan Pangeran Cakrabuwana

Cirebon,- Tradisi Maulid Nabi Saw, merupakan tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islamisasi di nusantara. Tradisi ini muncul dan berkembang sejalan dengan peran dakwah Walisongo sejak abad ke-15.

Dalam upaya Islamisasi, para wali songo, termasuk Sunan Gunung Jati dalam dakwahnya menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, teologi dan pemahaman yang banyak memunculkan nilai-nilai dan ajaran dengan agama lokal (Hindu-Budha-Kapitayan).

Sehingga, terjadi sebuah proses akulturasi dan sinkretisasi budaya yang di dalamnya mengandung ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam perjalananya, tradisi Maulid Nabi Saw berkembang dan menyebar di Nusa- Jawa.

Ratu Raja Arimbi Nurtina, selaku Juru Bicara Keraton Kanoman Cirebon mengatakan bahwa istilah penyebutan peringatan Maulid Nabi Saw sendiri bermacam-macam, bergantung pada daerah masing-masing.

“Di Keraton Cirebon, tradisi Maulid Nabi dikenal dengan beragam istilah, antara lain Pelalan, Sekatenan, Pelal Ageng, Muludan dan Panjang Jimat,” ujarnya kepada awak media di sela-sela Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kanoman Cirebon, Minggu (10/11/2019) malam.

BACA YUK:  Kerja Sama dengan Cirebon Tiket, Sociamedic Clinic Berikan Harga Spesial Treatment Hemat

Lanjut Ratu Arimbi, Tradisi ini sudah muncul dan berkembang sejak masa pemerintahan Pangeran Cakrabuwana, anak Prabu Siliwangi yang menjadi penguasa Cirebon sejak 1447-1479 M.

“Sejak masa Pangeran Cakrabuwana, tradisi ini diperingati lengkap dengan tradisi-tradisi yang dilakukan sebelumnya, yang dimulai sejak tanggal 1 Safar sampai pada puncaknya 12 Robiul Awal,” bebernya.

Tradisi ini, kata Ratu Arimbi, terus bertahan dan dilestarikan secara rutin ketika masa Sunan Gunung Jati (1479-1568 M), Fatahillah (1568-1570 M).

Kemudian, berlanjut pada mas Pangeran Mas Zainul ‘Arifin atau Panembahan Ratu I (1570-1649/50 M), masa Panembahan Girilaya (1650-1662), masa Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Tohpati (1662-1677/8 M) dan sampai pada masa pemerintahan Sultan Badridin Sultan Kanoman pertama hingga generasi sultan keduabelas sekarang, Sultan Raja Muhammad Emirudin, sebagai pewaris trah Sunan Gunung Jati dan pemangku tradisi Maulid Nabi Saw.

BACA YUK:  Untag 1945 Cirebon Bantu Korban Banjir di Wilayah Cirebon Timur

Malam puncak tradisi Maulid Nabi Saw di Keraton Kanoman, biasanya disebut dengan malam Pelal Ageng, atau biasa disebut Panjang Jimat.

Ratu Arimbi menjelaskan, Panjang Jimat adalah acara inti yang bermaksud memperingati kelahiran Gusti Rasulullah SAW pada malam 12 Rabiul Awal tahun Gajah (571 M) di Kota Mekah.

“Istilah Pelal Ageng artinya malam keutamaan yang besar yakni malam dimana Gusti Rosul lahir ke dunia. Sementara istilah Panjang Jimat berasal dari kata Panjang, yakni sebuah piring pusaka berbentuk bulat dan besar pemberian seorang Pertapa suci bernama Sanghyang Bango dari Gunung Surandil kepada Pangeran Cakrabuwana,” terangnya.

Sedangkan, istilah Jimat, menurut Ratu Arimbi, yakni sebuah benda apapun yang mempunyai nilai sejarah dan nilai pusaka yang harus dijaga.

Istilah Jimat sendiri hakikatnya adalah nasi yang sudah dimasak dengan cara dikupas satu-persatu setiap biji berasnya sebari melantunkan solawat kepada Nabi Saw oleh rombongan Bapak Sindangkasih.

BACA YUK:  Berikan Pembinaan dan Pelatihan, Polresta Cirebon Hadirkan Pesantren Kilat ABH

Lalu kemudian, beras tersebut disucikan atau dipesusi di Sumur Bandung dengan diiringi lantunan solawat oleh rombongan Perawan Sunti yakni rombongan Perawan yang suci (menjaga wudlu) dari hadas kecil dan hadas besar.

“Nasi yang proses memasaknya diiringi solawat inilah yang disebut nasi jimat. Jimat yang dimaksud adalah bacaan solawat yang dipanjatkan kepada Baginda Gusti Kanjeng Rosulullah Saw,” ungkapnya.

“Karena solawat inilah yang menjadi sebab syafa’at umat manusia ketika tiba hari pembalasan nanti dan Nur Muhammad lah yang menjadi sebab terciptanya manusia dan alam smesta,” imbuhnya.

Dengan kata lain, panjang Jimat adalah iring-iringan nasi jimat yang diletakan di atas piring panjang yang di dalamnya mengandung banyak keutaman (fadhilah).

“Sehingga malam itu disebut pelal ageng, yakni malam yang bersejarah dalam sejarah manusia dan alam semesta serta mengandung banyak keutamaan,” tutup Ratu Arimbi. (AC212)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *