Telusur Tajug Tua Kota Cirebon Lewat Lawang Sanga dan Kali Kriyan

Penulis : Syaeful Badar (Marbot Masjid Raya At Taqwa dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Cirebon,- Menyusuri sudut demi sudut Kota Cirebon dari mulai gerbang Lawang Sanga di belakang Keraton Kesepuhan tepatnya di jalur Kali Kriyan yang dulu adalah gerbang utama para tamu yang akan menghadap Sultan bertamu dengan para raja dan sultan dari semua penjuru nusantara, Kali Kriyan berada di sekitar jalan Kesunean, terhampar dari laut utara masuk ke wilayah warga RW Gambir Laya Selatan, RW Banjar Melati dan RW Mandalangan, selanjutnya dari RW Mandalangan Kali Kriyan terhampar lurus melewati Pegajahan, Jagasatru, Drajat, dan terus sampai mengalir sampai ke Cirebon Girang atau dalam catatan sejarah Cirebon, bahwa pedukuhan Cirebon memiliki dua karakter penduduk yaitu penduduk yang ada di pinggir pantai utara di juluki masyarakat Cirebon Larang, selanjutnya masyarakat yang berada di pedalaman di juluki masyarakat Cirebon Girang.

Dari Lawang Sanga, berjalan di sepanjang tanggul Kali Kriyan, melewati ujung tembok keraton Kesepuhan yang bernama Kuta Kosod yaitu pertemuan dua tembok besar Keraton Kesepuhan yang berujung di Kali Kriyan samping Gerbang Lawang Sanga. Tahun 1980 penulis merasakan suasana yang rimbun dan sejuk di sepanjang tanggul Kali Kriyan, tampak Jodang (tempat berupa dari kayu atau bambu yang digunakan untuk memasang alat anco yaitu alat pencari Udang Kecil atau Rebon) berjejer rapi di sepanjang tanggul Kali Kriyan, bahkan beberapa pemancing asyik dengan kailnya sambil menghisap rokok dan sekedar di temani minuman dan makanan kecil, sambil menunggu kail di makan ikan, saat tahun 1980 Kali Kriyan airnya jernih, dan banyak sekali ikan kakap dan udang yang bisa di ambil di Kali Kriyan baik dengan menggunakan pancing maupun anco (terbuat dari jaring yang dilebarkan dengan bambo, berbentuk bulat). Sehingga wajar jika dari mulai siang sampai malam hari, bahkan sampai pagi banyak warga masyarakat yang tidak hanya datang dari Cirebon, tapi dari luar Cirebon juga banyak yang memancing dan mencari rebon (udang kecil) di Kali Kriyan, bahkan penduduk asli yang ada disekitar Kali Kriyan terutama yang berada di sekeliling Gerbang Lawang Sanga adalah pengrajin terasi udang, yang bahan dasarnya dari rebon (udang kecil) yang di dapat dari Kali Kriyan. Produksi Terasi Udang Lawang Sanga menjadi oleh-oleh khas Cirebon bagi pengunjung Grebeg Mulud di Keraton Kesepuhan Cirebon. Bahkan setiap Rebo Wekasan Kali Kriyan akan menjadi jalur lalu lintas para peziarah yang akan menuju ke petilasan Sunan Drajat hingga ke Dukuh Semar. Tradisi ini dinamakan Ngirab Rebo Wekasan.

BACA YUK:  Pengurus DMI Kota Cirebon Resmi Dilantik dan Luncurkan Program Gelisan

Namun suasana sejuk dengan gemercik air Kali Kriyan, saat ini hanya menjadi bagian dongeng penulis yang sejak kecil hidup dan tinggal di sekitar Gerbang Lawang Sanga dan Kali Kriyan. Sekarang ketika penulis menyusuri tanggul Kali Kriyan, hanya melihat air berwarna keruh bahkan hampir hitam di sepanjang Kali Kriyan, kotor, bau mengiring langkah penulis sepanjang berjalan di tanggul untuk menuju ke jalan Ariodinoto untuk melihat Masjid Pejlagrahan di RW Siti Mulya Kelurahan Kesepuhan. Kali Kriyan yang bersih, indah, nyaman, asri dan rindang, serta ribuan rebon atau udang kecil dan ikan kakap yang selalu di rindukan oleh pemancing, serta biawak yang setiap menjelang sore keluar dari sarangnya dan berenang di sepanjang Kali Kriyan, kini hanya sekedar impian yang tak mungkin kembali. Kali Kriyan kotor, rusak dan bau, mungkin Kali Kriyan juga menjerit terhadap kondisi saat ini, tapi sebagai bagian dari alam tentunya Kali Kriyan berharap ada manusia terus peduli agar Kali Kriyan menjadi bersih kembali, walaupun tidak sebersih dan sebening Kali Kriyan pada jaman dulu yang menjadi jalur lalu lintas dari pantai utara untuk para tamu Agung Kesultanan Cirebon yang akan menghadap Sultan/Sunan Gunung Jati.

Masjid yang pertama di bangun oleh Walang sungsang atau Pangeran Cakrabuana, terletak di Keraton Pakungwati atau kini Keraton Kesepuhan tepatnya di sebelah utara masuk dalam wilayah RW Siti Mulya. Masjid yang diberi nama “ Pejlagrahan “ terletak hanya 50 meter dari Keraton Pakungwati atau kini namanya Dalem Agung, karena memang masjid ini di bangun untuk mendekatkan keluarga kerajaan untuk melaksanakan sholat berjamaah setiap hari setiap waktu sholat di Masjid Pejlagrahan. Dari arah Masjid Pejlagrahan selanjutnya kita akan berjalan melewati depan Keraton Kesepuhan, tepatnya di depan alun-alun keraton kita akan melihat bangunan megah berbentuk limasan yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang di bangun pada masa pemerintahan Sultan Cirebon Pangeran Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, dengan arsitek Raden Sepat (mantan Panglima Perang Majapahit) Penanggungjawab Raden Said atau Sunan Kalijaga dengan pelaksana Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim. Masjid di bangun tidak hanya berada di luar lingkungan Keraton Kesepuhan dan Dalam Agung Pakungwati, Masjid di bangun juga di dalam Keraton seperti Tajug Agung yang terletak di halaman dalam Keraton Kesepuhan dan Tajug Alit yang berada disamping Bangsal Prabayaksa tempat tinggal langsung Keluarga Keraton.

Lawang Sanga

Menyusuri Kota Cirebon akan identik dengan menyusuri perjalanan dari Masjid ke Masjid, setelah menemui beberapa Masjid dan Tajug Kuno di Keraton Kesepuhan. Di Keraton Kanoman juga terdapat Masjid Agung Kanoman yang terletak di depan alun-akun Kanoman. Baik Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kesepuhan maupun Masjid Agung Kanoman Keraton Kanoman, dibangun tidak hanya untuk ibadah sholat tetapi juga di gunakan sebagai pusat penyiaran agama Islam dan pusat kegiatan masyarakat pada saat itu. Disamping terdapat masjid agung di dalam komplek Keraton Kanoman juga terdapat Tajug atau Langgar Keraton yang terletak di sebelah barat pintu Regol Kejaksan. Langgar Keraton merupakan tempat Sultan dan Keluarga serta kerabat untuk melaksanakan sholat, tempat pembacaan naskah Isra Mi’raj Nisfu Sya’ban serta naskah yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam.

BACA YUK:  Empat Tahun Terakhir, Tingkat Pengangguran Terbuka di Kota Cirebon Menurun

Dari Keraton Kanoman menuju ke arah jalan Karanggetas, tepatnya di perempatan antara jalan Karanggetas dan jalan Pasuketan, dekat lampu merah kita akan melihat sebuah papan nama dan pintu kecil di sela-sela trotoar yaitu adanya bacaan Masjid Jagabayan, baru setelah masuk lewat pintu kecil tersebut kita akan melihat bangunan ruangan seperti tempat sholat dan perlengkapannya termasuk sumur untuk mengambil air wudhu, ya..itulah bangunan Masjid Jagabayan yang hingga kini masih tertata dan masih di kunjungi masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Tidak jauh dari jalan Karanggetas ada jalan yang namanya jalan Panjunan, kita akan merasakan nuansa kampung arab, karena banyaknya bangunan-bangunan kuno seperti rumah-rumah besar. Panjunan merupakan kawasan yang banyak di huni oleh warga keturunan Arab atau Timur Tengah, konon jaman dulu banyak para syekh dan habib yang tinggal dan bermukim di kawasan Panjunan, karena di kawasan Panjunan ada bangunan Masjid kuno berwarna merah yang berdiri dengan megahnya, masjid tersebut bernama Masjid Merah Panjunan di bangun oleh Syekh Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan, kerabat dari Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dari garis keturanan Sultan Mesir ayah Sunan Gunung Djati. Saat bulan Ramadhan nuansa Masjid Panjunan sangat kental dengan nuansa tanah Arab karena banyak kuliner timur tengah yang menjadi sajian saat berbuka puasa.

BACA YUK:  Tawarkan Koleksi Modern Klasik, BG Gold dan Toko Mas Pantes Gelar Pameran di CSB Mall

Dari jalan Panjunan kita lanjutkan perjalanan kita menuju jalan Siliwangi setelah melewati jalan Pagongan dan jalan Sukalila, tepat dekat Pasar Pagi kita akan melihat papan nama di pintu masuk sebuah gang di jalan Siliwangi tepatnya di samping Laboratorium Kesehatan, kita akan melihat bangunan kuno Masjid Pangeran Kejaksan dengan ciri khas adanya sumur tua yang airnya jernih dan bening serta rasanya tawar tidak payau (terasa agak asin), padahal bangunan tersebut terletak tidak jauh dari laut utara, sementara air tanah yang ada di Masjid Raya At Taqwa yang jaraknya tidak jauh dengan Masjid Pangeran Kejaksan rasa air tanahnya payau dan asin seperti air laut.

Masjid-masjid yang kini ada di kota Cirebon membuktikan bahwa Cirebon identik dengan masjid, dimana setiap sudut-sudut kota selalu ada masjid, bahkan tidak hanya masjid-masjid yang didirikan pada jaman pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati tetapi generasi selanjutnya juga banyak mendirikan masjid, seperti masjid Baitul Karim di Kelurahan Pekalangan, Masjid Asy Syafii dekat masjid Merah Panjunan, Masjid Annur yang bersebelahan dengan klenteng atau vihara Talang, Masjid Sunan Gunung Djati atau Masjid Garmini di Jalan Kesambi yang memiliki prasasti Ir. Soekarno (Presiden RI pertama), serta beberapa masjid yang dijadikan pusat dakwah para Kyai, seperti masjid di Pondok Pesantren Jagasatru dengan pengasuhnya KH. Syarif Muhamad Yahya bin Syech (Kang Ayip) dan di Masjid Kebun Syarif yang di asuh oleh KH. Sholeh Assegaf, belum lagi beberapa masjid situs peninggalan Sunan Kalijaga di Taman Satwa Kera Kalijaga, Sunan Drajat dengan nama Masjid Nur Drajat, Masjid Pasarean Cucimanah, belum lagi beberapa masjid tua yang ada di Kabupaten Cirebon, lengkaplah jika Cirebon dijuluki kota Wali karena banyaknya peningggalan berupa bangunan masjid yang masih utuh terpelihara hingga saat ini padahal di bangun sejak tahun 1480 an. Dan inilah beberapa Masjid Tua yang menjadi obyek Jelajah Masjid-Masjid Kuno di Kota Cirebon. (Bersambung)

 

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *