Tadarus Konservasi Bahas Sungai dan Kearifan Budaya di Cirebon

Cirebon,- Kerusakan 15 (lima belas) sungai besar di Cirebon yang cukup parah adalah bukti kemunduran peradaban dan kebudayaan, padahal, kelestarian air itu bagian dari keseimbangan alam. Hal ini diungkapkan oleh Kang Ipul (Budayawan Cirebon) dalam acara Tadarus konservasi di Sekolah Alam Wangsakerta.

Yayasan Wangsakerta menggelar diskusi yang bertema ‘Sungai dan Kearifan Budaya di Cirebon’ dengan menghadirkan dua narasumber, yakni pertama, Rifki Muhammad Nurcholis, aktivis muda asal Dusun Karangdawa dan kedua, Kang Ipul, budayawan Cirebon, Sabtu (08/04/2023).

Tadarus konservasi ke-3 dimulai pada pukul 19.30 sampai 21.30 WIB, yang dimoderatori oleh Nurlaela, pegiat Wangsakerta asal Desa Celancang, Kabupaten Cirebon, sesuai keterangan rilis yang diterima About Cirebon.

Kegiatan ini bagian dari upaya bersama menumbuhkan kesadaran dan tindakan dalam konservasi air dan tanah, yang secara spesifik, sedang diupayakan di wilayah Danau Setupatok, Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.

Rifky, pada awal pemaparannya, menjelaskan bentuk hubungan timbal-balik antara kehidupan manusia dan eksistensi sungai. “Ketika terjadi masalah kerusakan sungai, maka yang terjadi adalah kehidupan manusia di sekitarnya praktis dapat terganggu.”

Ia melengkapi pemaparannya dari hasil penelitian mengenai realitas sungai di Cirebon pada era kolonial. Naskah penelitian tersebut berjudul “Perubahan Eksistensi Sungai dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon Pada Masa Kolonial” yang ditulis oleh Raffan S. Hasyim dan tim terbitan Yayasan Wiyata Bestari Samasta pada tahun 2023.

Menurut Rifki, yang juga adalah alumni program Ngenger Sekolah Aalam Wangsakerta, apa yang diungkap dalam buku ini menjadi penyambung pemahaman terhadap realitas pengelolaan sungai di era dahulu untuk kenyataan saat ini.

BACA YUK:  Harga Daging Ayam Hingga Tarif Kendaraan Rental Penyumbang Inflasi Kota Cirebon Bulan April 2023

Beberapa point penting yang dicatat olehnya melalui kajian penelitian tersebut, meliputi, pertama, pengetahuan mengenai kearifan lokal di Cirebon tentang persepsi dan eksistensi sungai di era kerajaan Cirebon dulu, kedua, penataan sungai oleh pemerintahan di era kolonial Belanda, yang dimulai sejak awal era 1700-an.

“Ada perbedaan mendasar antara pengelolaan sungai di era kerajaan Cirebon dengan pemerintah kolonial Belanda. Perbedaan tersebut terletak pada aspek motif, kepentingan serta tujuan mendasar dalam tata kelola sungai di Cirebon, yang tampak terlihat berbeda sangat tajam antara era kerajaan Cirebon dengan pemerintahan kolonial”, lanjutnya.

Pada era kerajaan Cirebon, sungai-sungai lekat dengan fungsi sosial seperti pembangunan kawasan pemukiman untuk penduduk dan ruang publik. Sungai dianggap sebagai cikal-bakal awal peradaban saat itu yang dicontohkan pada masa kerajaan pra-Islam di Cirebon dalam membangun kawasan penduduk di wilayah Tegal Alang-Alang (yang saat ini bernama daerah Lemahwungkuk) pada sekitar tahun sebelum 1400-an masehi, pembangunan kawasan publik seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa, hingga pembangunan keraton-keraton di Cirebon, yang secara umum, berhubungan dengan eksistensi sungai.

Pada era tersebut juga, sungai punya peran sebagai administrasi kerajaan dalam soal yang berhubungan dengan administrasi batas antar wilayah di Cirebon dan sekitarnya, seperti salah satunya dicontohkan pada wilayah Sungai Kriyan dan Sungai Sipadu sebagai batas Keraton Pakungwati di era Pangeran Cakrabuana.

“Tatkala pemerintahan kolonial Belanda melalui VOC-nya berlangsung pada awal 1700-an, sungai-sungai di Cirebon mengalami perubahan eksistensi”, lanjut Rifky. Perubahan eksistensi yang dimaksud terletak pada aspek perubahan peran dan fungsi, yang sebelumnya lekat dengan peran dan fungsi sosialnya di era kerajaan Cirebon kemudian bergeser menjadi fungsi kapital. Hal ini diduga kuat ditunjukkan melalui kebijakan modernisasi sungai-sungai di Cirebon oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari tata ruang kawasan jajahan.

BACA YUK:  Dukung Bisnis di Era Digital, PKPT IPNU-IPPNU IAIN Cirebon Gelar Seminar Kewirausahaan

Modernasi sungai di Cirebon memiliki berbagai macam bentuk sejak dari pembangunan drainase, sarana dan prasarana transportasi sungai, waduk hingga bendungan. Aspek mendasar yang membedakan penataan sungai di era kolonial dengan zaman kerajaan Cirebon tersebut adalah motif dan tujuan utama pemerintah kolonial dalam meletakkan kebijakan terkait sungai untuk kepentingan memperlancar ekspansi bisnis ekspor hasil kekayaan alam dari wilayah Cirebon dan sekitarnya ke pasar internasional.

Modernisasi sungai oleh pemerintah kolonial memiliki dampak positif sekaligus negatif. Dipaparkan dalam buku yang dibeda ini, dampak positif kebijakan terkait sungai di era kolonial tersebut di antaranya pembangunan awal fasilitas rumah sakit pada 1916, yakni Rumah Sakit bersalin Pamitran, program penyediaan air bersih, serta program kebersihan kota melalui pembangunan drainase dan Septitank.

Sementara dampak negatifnya, sungai-sungai dijadikan semata sebagai alat untuk memperlancar eksplotasi hasil bumi di Cirebon, serta dijadikan sebatas alat pembuangan air untuk pengendalian banjir.

Menyambung pemaparan Rifki, Kang Ipul, Budayawan Cirebon, menerangkap aspek relasional antara manusia dan eksisitensi sungai dalam kebudayaan Cirebon. “Manusia itu terbuat dari salah satunya unsurnya yakni air. Juga Cirebon, yang dari asal muasal sejarahnya itu ‘Ci atau Cai’ yang artinya ‘Air’, dan ‘Rebon’ itu udang.” ungkap pria yang sehari-hari aktif menjabat sebagai ketua Lembaga Seni Budaya (Lesbumi) NU Kota Cirebon. Kang Ipul menjelaskan betapa hidup manusia bergantung pada air.

BACA YUK:  Gapeka 2023 Mulai Berlaku 1 Juni 2023, Penumpang Diminta Perhatikan Jadwal Keberangkatan

Di Cirebon sendiri masih banyak upacara adat penghormatan terhadap air seperti Kawin Cai, Nyadran dan lain-lain, namun demikian sudah tidak lagi punya makna tinggal simbolnya saja. Padahal, kelestarian air itu bagian dari keseimbangan alam. Oleh karenanya, diperlukan tindakan yang segara dalam menggerakan konservasi alam pada ekosistem tanah dan sungai, agar sejalan dengan prinsip-prinsip kebudayaan dalam merawat alam.

Kegiatan ini dihadiri oleh pemuda Karangdawa, mahasiswa IAIN, perwakilan Balai Besar Wilayan Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, kelompok pecinta seni dan budaya, serta pegiat Wangsakerta dan memelahirkan pe-er untuk menelisisik lebih jauh perihal apa yang sebenarnya terjadi di masa kolonialisme belanda di bumi nusantara terkait soal pengelolaan sungai.

Apakah fungsi sosial sungai sebagaimana yang terdapat pada era kerajaan Cirebon itu masih berjalan dikelola masyarakat atau sepenuhnya hilang dan ditinggalkan dan sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial? Bagaimana sebenarnya strategi kebudayaan nusantara terkait pengelolaan sungai? Apa yang menyebabkan sekarang ini pengelolaan sungai semakin tidak punya ruh di tengah masyarakat?

Dari pemaparan dua narasumber dapat diduga keberhasilan pengelolaan sungai di masa pra kolonial dan juga masa kolonial adalah adanya kepemimpinan yang punya konsern dengan soal sungai mengingat sungai menjadi pusat aktvitas baik penguasa maupun rakyat, namun di masa paska kolonial sungai menjadi kurang perhatian karena pusat aktivitas masyarakat sudah sepenuhnya di daratan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi bahan bakar diskusi lanjutan konservasi setalah Idul Fitri tahun 2023 nanti. (*)

 

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *