Penguatan Kesantunan Digital Perlu Dilakukan di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa

Cirebon,- Tim pusat standar kebijakan pendidikan, badan standar, kurikulum dan assessment pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Budaya menggelar Focus Group Discussion (FGD).
Kegiatan tersebut berlangsung di Ruang BPH Kawasan Convention Hall Kampus 2 UMC Watubelah, Kabupaten Cirebon, Kamis (16/9/2021). Dengan mengusung tema “Penguatan Kesantunan Digital”, kegiatan FGD dihadiri tenaga pengajar perguruan tinggi, budayawan, dan praktisi media digital.
Dalam FGD kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan menyoroti kesantunan pelajar dan mahasiswa sebagai dampak bertumbuhnya media digital. Latar belakang digelarnya FGD ini adalah adanya dampak disrupsi digital di dunia pendidikan.
Ketua Tim Peneliti dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Romeyn Perdana Putra, S.Sos. M.M menjelaskan bahwa dari hasil data analisis yang kita miliki, dari sisi para pelajar dan mahasiswa menganggap kata kasar yang dilontarkan biasa saja.
“Bagi mereka berkata kasar sudah lumrah dikatakan, bahkan sudah menjadi kata sampiran di setiap pembicaraan mereka. Mereka sudah menganggap kata kotor itu sudah santai-santai saja, dan sudah ada di setiap kalimat mereka,” ujar Romeyn saat ditemui About Cirebon usai kegiatan FGD.
Bahkan, lanjut Romeyn, pada tahun 2020 banyak sekali tangkapan-tangkapan pembicaraan dosen dan mahasiswa yang viral. Sehingga, hal ini yang memicu pihaknya untuk melihat budaya digital di mahasiswa.
“Tangkapan screenshoot dari pembicaraan itulah yang membuat pemicu kita untuk mencari, ada apa sih dengan mahasiswa,” ungkapnya.
“Setelah kita teliti dan melakukan beberapa kali FGD dengan dosen hingga praktisi tentang kesantunan digital, temuannya yaitu dari rumah mereka bermasalah. Bahkan, gara-gara mereka jadi korban, mereka juga ingin membuat korban baru,” sambungnya.
Sehingga, kata Romeyn, output dari penelitian atau FGD ini berupa kajian. Pihaknya akan membuat risalah kebijakan, jurnal, publikasi dan bisa menjadi praktek baik dari Kementerian bagaimana untuk membuat pendidikan karakter.
“Mudah-mudahan output dari penelitian ini adalah opsi-opsi kebijakan. Tapi output ini tidak bisa dijadikan kurikulum tentang kesantunan, etika bermedia sosial, tidak bisa,” bebernya.
“Tapi yang jelas, di setiap mata kuliah itu sudah ada internalisasi dari masing-masing dosen. Dan yang diperlukan adalah contoh kesantunan, dan kembali lagi pada dosennya,” tambahnya.
Penelitian ini, kata Romeyn, walaupun terdengarnya receh, namun berdampak 10 tahun yang akan datang. Sehingga, dengan FGD ini bisa mencari formulasi.
“Mudah-mudahan data yang kita dapat dari Cirebon bisa menambah kaya kajian kita,” pungkasnya. (AC212)