OPINI : Pendekatan Psikologi Kognitif terhadap Anak Panti Asuhan di Malang

Malang,- Seorang anak perempuan yang tinggal di panti asuhan Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur ini mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Pasalnya sang anak yang baru berusia 13 tahun itu merupakan anak panti asuhan sekaligus santri yang dicabuli dan dirundung ramai-ramai. Korban selama ini tinggal di panti asuhan dari usia yang sangat belia karena ekonomi keluarganya yang terbatas dan tidak sanggup membiayai hidupanya, ibu korban menyerahkan dirinya ke panti asuhan agar sang anak bisa terurus oleh pihak panti.

Awal mula kejadian sang anak yang ternyata adalah korban pemerkosaan oleh pelaku yang merupakan tetangganya sendiri, saat itulah korban dan pelaku dipergoki oleh istri pelaku sedang melakukan hubungan intim di rumah si pelaku. Dengan perasaan marah yang menggebu-gebu istri pelaku memanggil kurang lebih 8 orang untuk menganiaya korban, 8 orang tersebut yang tidak lain adalah teman panti dari si korban dan sebagian lain merupakan tetangganya.

BACA YUK:  Reses Anggota DPRD Kota Cirebon Fitrah Malik Paparkan Program PIP dan BPJS Kesehatan

Kejadian itu diketahui oleh unggahan video yang tersebar di media sosial, dan pihak yang berwajib langsung dengan sigap menangani kasus tersebut. Dari kejadian itu korban mengalami depresi dan trauma yang sangat berat, korban langsung dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut terkait psikisnya. Berdasarkan teori psikologi kognitif, kasus ini masuk ke dalam perilaku agresi yang mana itu ditunjukkan kepada objek sasaran perilaku tersebut.

Menurut Colman (2010) dan Hanurawan (2010) perilaku agresi adalah perilaku yang seseorang atau sekelompok orang yang diniatkan untuk menyakiti objek sasaran. Dalam kasus yang dialami korban ini, selain korban mengalami trauma dan depresi korban juga mengalami luka lebam dibeberapa bagian tubuhnya akibat penganiayaan yang mengakibatkan berdampak pada kerusakan cerebral cortex dan frontal cortex. Jika terjadi kerusakan dibagian ini maka akibat yang timbul pada anak adalah matinya karakter.

BACA YUK:  Bupati Cirebon Minta Proses dan Pengesahan Perda KTR Bisa Diproses Cepat

Adapun dampak lain dari korban pelecahan menurut Pinky Saptandari (2002; dalam Suyanto, 2010:100) adalah (1) kurangnya motivasi atau harga diri, (2) korban menjadi agresif dan pemarah atau bisa juga korban menjadi pendiam dan tertutup, (3) terjadi masalah kesehatan berupa kecemasan berlebih, susah tidur dan makan, hingga menyebabkan halusinasi, (4) terdapat luka atau sakit yang serius hingga menyebabkan cacat permanen seperti patah tulang, radang karena infeksi, dan sakit dibagian perut dan otot, (5) terjadi masalah kesehatan seperti luka memar, rasa sakit, infeksi saluran kencing, pendarahan, penularan penyakit dan adanya kerusakan pada organ reproduksi.

BACA YUK:  Revitalisasi dan Pemeliharaan Museum Benteng Vredeburg, Upaya IHA dalam Mengoptimalisasi Fasilitas dan Pelayanan Publik di Museum

Menurut Sugiyono (2010), dilihat dari tempat terjadinya tindakan pelecehan dan pelanggaran hak-hak asusila anak, ditemukan bahwa tempat yang rawan bagi anak adalah jalanan, sekolah, lembaga keagamaan, dan sektor perekonomian. Jika dijalanan anak sering menjadi korban pemalakan, pemerkosaan bahkan hingga sodomi. Di sekolah maupun lembaga keagamaan anak juga sering menjadi target pelecehan tersebut. Contoh yang bisa kita ambil korban akan diperlakukan dengan keras dan kasar seperti menyakitinya secara verbal maupun fisik sehingga anak menjadi korban perilaku yang tidak senonoh seperti mencabuli atau bahkan memperkosanya. (*)

Penulis : Nabilla Suci Ramadha (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *