Menyelamatkan PKL

Cirebon, 14 Oktober 2014,-Masih belum ada kejelasan. Perjuangan para pedagang kaki lima (PKL) untuk tetap berjualan di lokasi-lokasi semula terus dilakukan. Sampai saat ini para PKL terus memperjuangkan nasibnya dibantu oleh para aktivis yang peduli. Usaha mendatangi Balaikota Cirebon dengan membawa aspirasi bukan tak pernah dilakukan. Kabar ini tentu menggelisahkan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup para PKL yang telah lama berjualan, terutama di enam titik terlarang.

 

Memang, persoalan pelik tentang PKL ini bukan perkara yang mudah. Tidak hanya Cirebon, berbagai kota di pelosok Indonesia pun telah banyak mengalami hal yang sama. Yang tentu saja mengesankan adalah Pemerintah Daerah yang sukses menatanya, bukan malah memberangusnya. Makanya titik substantifnya, adalah bagaimana para PKL ini ditata dengan rapi dan tak kalah penting juga dibarengi dengan kesadaran para PKL untuk juga menata kepantasan tempat dagangannya.

 

Bahwa menggeliatkan perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah itu sangat penting adalah benar. Tetapi juga tidak untuk mengabaikan tata ruang kota. Oleh karena itu, bagaimana caranya agar PKL dapat terus berdagang, dengan tanpa merusak tata ruangan (keindahan) kota Cirebon?

 

Pendekatan Budaya

Kalau ditilik secara seksama, penataan di banyak daerah memiliki cara dan konsep yang berlainan. Ini tidak lain karena berbagai indikasi; letak geografis, potensi SDA/SDM tiap daerah, dan sejumlah indikasi mendasar lainnya. Perbedaan itu yang pada akhirnya juga mempengaruhi definisi tentang PKL itu sendiri.

 

Saya ambil contoh misalnya, definisi PKL di tiga kota; Solo, Bandung, dan Surabaya. Perda Solo mendefiniskan PKL merupakan pedagang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan lahan fasilitas umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai tempat usahanya, baik dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan dan/atau dibongkar pasang. Perda Bandung mendefinisikan pedagang yang melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. Sementara Perda Surabaya mendefinisikan pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang, dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya.

 

Perlu pendekatan yang tepat sebelum lebih lanjut mengambil langkah untuk jalan keluar. Bayangkan saja, mantan Wali Kota Solo, Joko Widodo, pernah rela menghabiskan waktunya untuk bertemu para PKL demi menyerap aspirasinya, sebanyak tidak kurang dari 45 kali pertemuan. Inilah yang saya sebut sebagai pendekatan budaya, pendekatan yang mengutamakan cara-cara kekeluargaan, musyawarah, dan penuh hormat.

 

Pendekatan budaya itu diarahkan agar nantinya ada tempat-tempat yang memang harus netral dari PKL dan yang diperbolehkan. Dengan catatan, Pemerintah Daerah kota/kabupaten setempat juga mendukung penuh secara pro-aktif dan berkelanjutan. Atas kesemrawutan PKL dan tata ruang kota, sepenuhnya memang tanggung jawab Pemerintah Daerah.

 

Karena saya khawatir, momen ini dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Para PKL hanya dijadikan ‘tumbal’ untuk membuat Cirebon kisruh. Tetapi juga bukan berarti membuat Pemerintah Daerah lepas tangan. Ingat Pemerintah Daerah dan para anggota DPRD telah berjanji akan memperjuangkan suara dan aspirasi masyarakat, dan ini adalah momen tepat untuk merealisasikannya. Saya yakin, jika Pemerintah Daerah, PKL, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dapat duduk berdampingan, tidak emosional, dan mengedepankan musyawarah yang konstruktif solusi terbaik akan didapatkan.

 

Tawaran Konsep 

Mengutip Annisa Sukmaningtyas (2013), sedikitnya ada lima konsep penataan PKL yang banyak diterapkan di beberapa kota: Pertama, relokasi; proses pemindahan tempat berdagang bagi PKL. Kedua, revitalisasi pasar; peningkatan fungsi dan potensi pasar berdasarkan pemanfaatan lahan pasar yang tidak terpakai oleh PKL. Ketiga, belanja tematik; penempatan PKL berdasarkan beragam jenis dagangan di satu lokasi tertentu. Keempat, konsep Festival; penempatan PKL berdasarkan pada pelaksanaan event-event tertentu. Dan kelima, konsep Pusat Jajan Serba Ada (Pujasera); penempatan PKL makanan berdasarkan lokasi tertentu berdasarkan sistem bagi hasil dengan pemilik lokasi sebagai pengganti uang sewa.

 

Saya tidak hendak menghakimi Pemerintah Daerah dan PKL di Cirebon agar mesti memakai konsep tertentu. Saya kira, saya tidak ada dalam kewenangan itu. Oleh karena demikian, diperlukan pemikiran yang tekun agar nantinya jika keputusan itu diambil tidak merugikan pihak mana pun. Pemerintah tetap dapat memenuhi aspirasi PKL dan tata ruang kota tetap terjaga. Namun demikian, untuk kasus PKL di enam titik jalan saya ingin memberikan dua rekomendasi.

 

Pertama, para PKL tetap boleh berdagang dengan catatan tertata dengan rapi, tidak semrawut, dan kumuh. Pemda menunjuk Dinas tertentu sebagai pengelola, untuk bersama mempromosikan, memfasilitasi, menjaga, dan berkoordinasi secara berkelanjutan. Sebab sampai hari ini, sulit menemukan tempat kerumunan PKL di Cirebon yang tertata rapi dan layak. Kedua, Pemda boleh melarang PKL untuk berdagang di enam titik yang harus bersih; Jalan Siliwangi, Jalan RA Kartini, Jalan Wahidin, Jalan Cipto Mangunkusumo, Jalan Pemuda, dan Jalan Sudarsono, dengan catatan Pemda siap memenuhi segala konsekuensi; penjaminan pelanggan, promosi, tempat yang strategis, bantuan perlengkapan, kompensasi, dll. Penolakan relokasi para PKL terjadi karena tidak ada penjaminan.

 

Sehingga dengan demikian, keputusan apapun yang diambil, selama pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan budaya (musyawarah, kekeluargaan, dan penuh hormat), serius, dan Walikota beserta Wakilnya langsung turun tangan, polemik ini tak kan berkepanjangan, keberadaan PKL justru akan menggeliatkan pendapatan daerah dan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Nah, sekarang, kita tinggal lihat apakah Walikota, Wakil, dan para pihak lainnya akan serius atau tidak? Wallahua’lam bis-Shawab

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *