Menerapkan Nilai-Nilai Pesantren Dalam Kehidupan Masyarakat

Sejarah panjang kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat lepas dari pengaruh dan perjuangan Pesantren. Dari mulai kesabaran melakukan edukasi yang sifatnya menggerakan kemampuan intelektual, sampai pergolakan berdarah melawan penjajah. Adalah tragedi 10 November di Surabaya sebagai magnum opus dari pembuktian bagaimana intelektualitas dan jiwa-jiwa ke Indonesia-an pesantren itu amatlah tinggi. Dengan keyakinan yang besar, pesantren bukan hanya berhasil mengusir secara fisik, pesantren melalui perjuangan intelektual santri dan kyainya juga berhasil membuat Belanda mengucapkan “kata menyerah”. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila kita menyebut pesantren adalah bagian terbesar dari Indonesia.

 

Namun, life style pesantren yang amat melegenda itu belakang ini mulai sedikit ditinggalkan oleh masyarakat. Ciri dari ditinggalkanya spirit pesantren dalam kehidupan masyarakat dapat kita lihat melalui beberapa hal, yang salah satunya, masyarakat saat ini mulai pragmatis. Masyarakat masa kini mulai mencari dan melakukan hal yang sifatnya cepat dirasakan. Masyarakat mulai tidak lagi secara istiqomah mendirikan bangunanya, bahkan yang lebih parah adalah, masyarakat meminta untuk dibangunkan bangunanya (bangunan kehidupan). Strata yang terakhir disebutkan adalah strata terburuk yang artinya, masyarakat sudah mulai tidak percaya pada kemampuanya.

 

EMPAT TAHAP PENDIDIKAN PESANTREN

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya ingin sedikit menggugah kembali ingatan masyarakat pada perjuangan pesantren melalui tata ajarnya. Sifat sabar, istiqomah dan zuhud yang dimiliki oleh kaum santri dan kyainya tidak berangkat dari proses yang instan. Sebelum dinyatakan lulus, mereka harus melalui beberapa tahap pendidikan. Tahap-tahap itu dijelaskan oleh Kyai Said Aqil Siraj sebagai empat keunggulan pesantren. Empat keunggulan itu terdiri dari ta’lim, tadris, ta’dib dan tarbiyah. Empat tahap ini adalah proses wajib yang harus dilalui oleh seorang santri di Pesantren.

 

Yang pertama adalah ta’lim yaitu sistem pengajaran dimana mewajibkan kyai itu harus tekun dan menguasai ilmu. Sebelum muncul model sertifikasi guru, pesantren telah memulainya jauh 60 tahun kebalakang. Pesantren yang nantinya menjadi tempat dimana santri-santri berkopeah itu belajar, harus mendapat pendidikan dari mentor yang terbaik. Proses belajar di Pesantren pun mendahului sistem demokrasi. Di pesantren, budaya musyawarah dan diskusi adalah suatu hal yang sangat umum dan penting, tujuanya adalah untuk mengetahui semaksimal mana pesantren melalui kyainya berhasil mendidik muridnya. Karena dengan budaya diskusilah, kyai menjadi tahu kualitas muridnya.

 

Selanjutnya adalah tadris atau suatu upaya menyiapkan murid (mutadarris) agar dapat membaca, mempelajari serta mengkaji sendiri. Tadris juga menanamkan suatu nilai fundamental di dalamnya, menurut Kyai Said Aqil Siraj, tadris juga mengajarkan santri untuk mengamalkan ilmunya. Cerita mengenai tadris ini bisa Kita temukan dalam kitab Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri. Disitu dijelaskan, Abu Hanafi  memiliki murid bernama Dawud Tha’i yang telah pandai dan menjadi ulama terkenal. Dawud Tha’i kemudian pergi menghadap Abu Hanafi dan bertanya “apa yang harus kulakukan saat ini?”. Abu Hanafi menjawab “amalkan apa yang telah Kau pelajari, karena teori tanpa praktek ibarat tubuh tanpa ruh”.

 

Secara berurutan, Kita masuk kepada konsep yang ketiga, yaitu ta’dib. Ta’dib secara leterlek artinya disiplin dan mengajarkan sopan santun. Arti ini berasal dari bentuk masdar kata-kata addaba-yuaddibu-ta’diban yang berarti mengajarkan sopan santun. Dalam hal ini, Kyai adalah aktor utama yang memberikan contoh. Konsep ta’dib ini dikembangkan juga oleh Sayed Naqueb Al-Atas asal Malaysia, Dia menjelaskan bahwa inti pokok dari ta’dib adalah menempatkan diri pada tempatnya.

 

Yang terakhir adalah tarbiyah. Kyai Said Aqil menjelaskan bahwasanya kata ini berasal dari kata rab yang memiliki arti mencipta dan murabbi yang artinya mengembangkan. Murabbi adalah guru diantara guru daripada kyai. Murabbi memiliki fungsi mengembangkan, mengelola dan meningkatkan apa yang telah dimulai oleh Allah SWT, yaitu dengan melakukan pendidikan. Jadi tidak heran, apabila kemudian santri-santri yang telah lulus itu membangun peradabanya yang baru di desa masing-masing. Seperti mendirikan majelis ta’lim atau kelompok rebbana.

 

Membaca realitas kehidupan masyarakat masa kini kemudian mengaitkanya dengan kehidupan yang berkembang di pesantren amatlah sulit, apalagi bila harus melalui kacamata sistem pendidikanya. Namun bila harus dikatakan bahwa masyarakat telah jauh dari nilai-nilai yang ada pesantren atau tidak, maka jawabanya adalah benar. Saya akan mencoba mengambil dari terms yang sama dengan penjelasan-penjelasan diatas dengan menganalisa masyarakat dari segi ta’lim, tadris, ta’dib dan tarbiyah secara social comparation theory. Saya akan menganalisanya dengan mengikuti perkembangan saat ini, yaitu tahun politik.

 

LEGISLATIF SEBAGAI KYAI DAN MASYARAKAT SEBAGAI SANTRI

Yang pertama tentu saja melalui ta’lim. Dalam pesantren, ta’lim mengedepankan kualitas keilmuan, pengetahuan yang mempuni untuk mampu melakukan semacam pendidikan di masyarakat. Saat ini, masyarakat cenderung tidak memiliki seorang tokoh yang dapat diandalkan di desanya. Melihat dari tren yang berkembang, legislatif adalah salah satu contoh yang mewakili masyarakat. Legislatif yang memiliki posisi lebih tinggi kita ibaratkan sebagai kyai dan masyarakat adalah santri. Namun, kita lagi-lagi harus mengakui, bahwa legislatif saat ini tidak lebih dari foto yang menempel di dinding dan pohon hidup, mereka tidak pernah atau jarang ada yang rela turun dan mengeksplorasi ilmunya untuk mengedukasi masyarakat.

 

Keadaan yang muncul saat ini adalah kedangkalan nilai, dimana hanya nilai-nilai lahirian sajalah yang dinilai. Legislatif itu kaya, orang terhormat dan lainya yang berkaitan dengan gelar yang muncul di masyarakat. Legislatif yang notabene sebagai roda penggerak masyarakat tidak jarang mengabaikan kedalaman rasa (compassion), dan tata nilai seperti ini sepintas mirip dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok-kelompok militer (spartan ethics). Sehingga munculah suatu sistem kehidupan yang doktriner, yang menurut Abdurrahman Wahid hanya menggolongkan dua kelompok saja, yaitu pihak lawan dan pihak kita. Jika sudah begini, maka yang terjadi kemudian, masyarakat melenceng jauh dari amalan ta’lim yang berciri khas pada diskusi dan musyawarah.

 

Setelah terjadi sebuah pelencengan tata nilai, maka sistem tadris pun tidak akan bisa berjalan dengan baik. Tadris yang pada intinya memberikan kesempatan bagi santri untuk belajar dan memahami secara individu haruslah dimulai dari suatu ta’lim yang benar. Apabila diawali dengan ta’lim yang salah, jangan harap masyarakat akan mampu menilai secara objektif. Masayarakat hanya akan dibawa pada status penilaian yang subjektif dengan menganggap salah satu pihak sebagai lawan dan kawan, bukan sebagai upaya mencari suatu kebenaran.

 

Jika diawali oleh penerapan sistem edukasi yang salah, seterusnya hampir bisa dipastikan akan membentuk pemikiran yang salah. Ta’dib adalah sistem yang mengajarkan sikap sopan dan santun, tawadhu dan bisa jadi zuhud. Legislatif terkadang mengajarkan masyarakat untuk pragmatis. Mereka turun untuk membagikan uang dan pada akhirnya muncul istilah money politic. Jika sudah begini, standar sopan santun masyarakat akan diukur dari seberapa banyak uang yang diberikan kepada mereka, bukan seberapa besar legislatif mampu mengairi rasa haus intelktual masyarakat dan mewakili aspirasi mereka.

 

Dalam point yang terakhir tentunya kita sepakat, legislatif tidak akan mampu mengamalkan konsep tadris atau pengembangan. Saat ini, kita tidak perlu heran apabila masyarakat hanya berada pada kondisi yang stagnan. Yang terjadi saat ini tidak lebih dari bagaimana cara legislatif bermain di masyarakat. Mereka yang justru memiliki tongkat estafet Pengembangan Sumber Daya Manusia lebih sering melaksanakan tugasnya dengan tanpa totalitas dan tanggung jawab.

 

USTAD DJUMHUR

Ustad Djumhur bukanlah seorang calon legislatif, bukan pula kyai besar yang memiliki pesantren terkenal, Ustad Djumhur atau biasa dipanggil Wa Ung hanyalah ustad biasa yang tinggal di Kasepuhan. Ustad yang biasa menyembelih hewan kurban ini adalah ustad yang bisa dibilang berhasil menjadi kyai di masyarakat dengan menerapkan nilai-nilai pesantren. Wa Ung bisa dijuluki one man show taktala Dia berhasil merubah kehidupan masyarakat Cangkol Utara menjadi masyarakat yang memiliki peradaban, setelah sebelumnya diselemuti awan gelap. Oleh karena itu, Wa Ung bisa dijadikan contoh bagi Calon Legislatif tentang bagaimana seharusnya mereka bergerak.

 

Wa Ung tidak memulai pergerakanya dengan tanpa bekal, Dia lahir dan menimba ilmu langsung dari kakeknya KH Bakrie. Selain kakek dari Wa Ung, KH Bakrie ini juga adalah ayah kandung dari Almarhum KH Machfudz Bakrie (Mantan Ketua MUI Kota Cirebon). Dengan ketekunan dan keseriusan belajar, Wa Ung kemudian mencoba mencari jalan hidupnya sendiri. Dia tidak menjadi pengajar ataupun guru di pesantren, Dia lebih memilih berceramah di tempat yang dulu dipenuhi bromocorah. Dengan menyadari hal itu sebagai tantangan, Wa Ung kemudian berangkat menuju Cangkol Utara.

 

Ceramahnya kali itu sepi, tidak banyak jamaah yang datang menghadirinya. Mungkin masyarakat tidak memiliki keyakinan besar kepadanya, Wa Ung datang di umur yang masih sangat muda dan wajah yang polos. Niatnya merubah kehidupan masyarakat ternyata mampu mengalahkan segala hal yang bisa membuatnya menyerah. Dia kemudian mendatangi satu persatu rumah masyarakat dan mengajak mereka sholat berjamaah. Dia pun menjadi guru ngaji yang tidak berorientasi pada uang tetapi pada keberhasilan muridnya. Keberhasilan muridnya Dia katakan “sebagai kepuasan yang tak ternilai harganya”.

 

Setelah melakukan ta’lim, Dia kemudian melakukan tadris, yaitu dengan mengajak masyarakat untuk berdiskusi dan musyawarah. Dari masalah keluarga, kehidupan sampai agama, Wa Ung dengarkan dan berikan solusinya. Cara bicaranya, gesture tubuh dan sopan santunya secara tidak langsung membawa konsep ta’dib. Wa Ung pandai mengemas nilai-nilai pesantren dalam suatu skema pembelajaran yang apik.

 

Dengan awal yang baik dan pencerahan yang sesuai skema, masyarakat Cangkol Utara pun dengan sendirinya menerapkan tarbiyah atau dalam arti sempit pengembangan. Bentuk dari pengembangan itu adalah, Wa Ung dan Masyarakat Cangkol Utara berhasil mendirikan sebuah masjid bernama Al Abror yang memiliki arti orang-orang yang mulia dan/ berbuat kebaikan. Berdirinya masjid tersebut adalah bukti dari keberhasilan penerapan nilai-nilai pesantren dalam kehidupan masyakarat.

 

PENUTUP

Menyimak bagaimana sistem pendidikan yang dijalankan di pesantren amatlah menarik. Akan tetapi, menjadikanya suatu realitas yang hidup dimasyarakat adalah hal yang sangat berharga. Tumpuan itu kini ada pada Calon Legislatif yang seharusnya mampu membawa nilai-nilai tersebut menjadi sebuah tatanan kehidupan dimasyarakat. Mengingat, saat ini masyarakat lebih sering disuguhi aksi-aksi money plolitic yang membuat masyarakat sekedar seperti mulut yang menjadi bisu karena suaranya telah dibeli.

 

Nyatanya perjuangan untuk menerapkan cara-cara politik yang baik bukanlah hal yang mustahil. Kerja keras Ustad Djumhur atau Wa Ung layak dijadikan contoh bagi Calon Legislatif yang memang serius memiliki jiwa pengabdian. Cukuplah sudah bangsa Indonesia ini hancur karena kebobrokan skema perjuangan yang salah. Cukuplah bangsa ini dimanipulasi dengan hujan uang yang justru menjadikan masyarakat tidak lagi istiqomah, keras dan sulit bermusyawarah. Memanfaatkan momen pemilu ini, maka maksimalkanlah dengan kinerja kerja dan kampanye yang kreatif.

 

Oleh : Bakhrul Amal, Penulis adalah peneliti di Satjipto Rahardjo Institute Semarang, Tim kajian pengembagan Boarding School Tunas Cendekia Cirebon dan pendiri kajian filsafat komunitas DIALOG Cirebon

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *