Memulai Perlindungan Anak dari Keluarga

Memulai Perlindungan Anak dari Keluarga

By : Suryadi

[Anggota Forum Peduli Anak Cirebon]

MENURUT Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis November 2011 oleh UNDP-PBB menempatkan Indonesia pada urutan ke 124 dari 187 negara yang disurvei. Indonesia masuk dalam kategori negara dengan medium human development. Sedangkan Phillipina ada di urutan ke 112 dan Thailand di tangga 103. Dan kita sedih karena berada jauh dari negeri jiran Malaysia berada di urutan ke 61 termasuk katagori negara dengan high human development. Sedangkan Singapore masuk dalam katagori very high human development dengan urutan ke 26.

Tersentak rasanya kita melihat kenyataan seperti itu, ada paradoks dengan ungkapan Indonesia adalah jamrud khatulistiwa, tanah yang subur, melimpah kekayaan alamnya dan seabreg julukan yang telah menina-bobokan masyarakat tanpa diiringi kerja keras. Negara harusnya mampu mengelola potensi sumberdaya yang ada di Indonesia secara bijak untuk kesejahteraan rakyat. Sebelum adanya moratorium atau paling tidak pengurangan pengiriman TKI ke luar negeri, Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor TKI “pembantu” terbanyak ke luar negeri. Ini tentu mengusik harga diri sebagai bangsa. Apalagi tidak sedikit dari TKW kita menjadi korban tindak kekerasan yang tidak sedikit berujung dengan kematian.

Apa yang sedang dialami ibu pertiwi, sedemikian beratnya ujian yang dihadapi oleh masyarakat. Nampaknya ada penurunan derajat kualitas keluarga dalam masyakat kita. Begitu berat beban yang harus ditanggung keluarga ketika aksesibilitas terhadap hasil pembangunan masih belum merata. Kita mungkin mengetahui masih banyak bayi dan anak kekurangan gizi. Khusunya di daerah-daerah yang masih terbelakang. Demikian juga kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan dan anak makin meningkat. Lantas, apa yang terjadi dengan keluarga Indonesia?

Memang, beban hidup keluarga semakin berat. Muara dari ketidakberdayaan keluarga dan masyarakat Indonesia adalah kemiskinan. Hasil Pendataan Keluarga tahun 2003 menunjukkan bahwa dari sekitar 51 juta keluarga, 31 persen di antaranya masuk kategori keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera-1. Ini berarti 15,7 juta keluarga di Indonesia masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Bandingkan dengan keluarga sejahtera III-Plus yang hanya berjumlah 3,49 persen saja. Indikator rendahnya kualitas keluarga dapat dicermati pula berdasarkan data UNICEF yang dirilis beberapa tahun lalu, 49 persen kepala keluarga dari 51 juta keluarga yang ada, hanya tamat SD dan SLTP. Sementara untuk kelompok perempuan, sebesar 72,7 persen adalah berpendidikan SLTP ke bawah: tamat SD 31,7 persen, tak tamat SD 28,3 persen dan SLTP 11,7 persen. Kontribusi lainnya adalah perkawinan di bawah usia 20 tahun yang masih sering terjadi, yakni sekitar 14 persen.

Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: Pertama, Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Fungsi Sosial Budaya, fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya. Ketiga, Fungsi Cinta Kasih, berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Keempat, Fungsi Melindungi, yaitu menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga. Kelima, Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. Keenam, Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, yaitu memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. Ketujuh, Fungsi Ekonomi, sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. Kedelapan, Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

Keluarga bertanggung jawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggota-anggotanya. Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual. Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1) kebutuhan makan, minum dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3) kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan dan 5) kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri.

Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula. Bahkan “principle of legitimacy” adalah merupakan tugas dasar keluarga, struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.

Ke depan dalam dunia yang mengglobal, tugas keluarga semakin berat dan kompleks. Kematangan anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa yang dimulai dari keluarga harus benar-benar dipersiapkan. Globalisasi dengan ciri penemuan dan pemanfaatan teknologi canggih dengan cepat dan relatif terjangkau oleh banyak kalangan dalam masyarakat, menjadikan bermacam kultur dan dinamika kehidupan dari belahan bumi yang lain dapat diakses dengan cepat dan mudah. Keluarga Indonesia harus ada kesanggupan dan keberanian untuk memilih dan memilah entitas yang bermanfaat dan sesuai dengan citra budaya bangsa bercirikan relijiusitas. Peran pemerintah akan lebih dominan dan penting bagi keluarga yang secara sosial dan ekonomi tidak berdaya. Pemerintah juga harus tegas, tetap aspiratif dan demokratis dalam membuat regulasi untuk membatasi dampak negatif arus globalisasi. Keluarga Indonesia harus berani mengatakan: No free sex, no drugs!  

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *