KH. Ma’ruf Amin: Semangat Hari Santri Haruslah Mendorong untuk Sumbangsih dalam Menjaga Negara

Cirebon,- Puncak acara Festival Tajug dalam rangka Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2018 di Kota Cirebon berlangsung di Alun-alun Kasepuhan, Senin (22/10/2018).

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, Menteri Agama RI Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin, Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, Ketua Panitia Festival Tajug KH. Mustofa Aqil, serta tamu undangan.

Dalam kesempatan tersebut, KH. Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa karena Presiden Joko Widodo sekarang ada Hari Santri Nasional, yang sebelumnya HSN selama 70 tahun tidak diingat orang dan disebut orang.

“Tetapi, oleh Presiden Jokowi ditetapkan sebagai hari Nasional. Itu menunjukkan bahwa Pak Jokowi sangat mencintai para santri. Terima kasih pak Jokowi,” ujarnya dalam sambutan.

BACA YUK:  Polres Cirebon Kota Musnahkan Ribuan Miras, Knalpot Brong, Hingga Petasan Jelang Idulfitri

Hari Santri, lanjut Ma’ruf, punya momen penting dalam sejarah Republik Indonesia, dalam mengawal NKRI (Negara Kesatian Republik Indonesia). Karena, ketika setelah negara ini merdeka tahun 1945, datang kembali penjajah untuk menjaga kembali Indonesia.

“Kala itu tentara belum terkonsilidasi, semua orang bingung menghadapi serangan penjajah yang akan kembali. Pada saat itulah tampil Hasyim Asy’ari untuk melawan penjajah dengan fatwanya, bahwasanya melawan mengusir penjajah hukumnya Fardu Ain,” bebernya.

Menurut Ma’ruf, itulah suatu keberanian  dan suatu kepahlawanan yang luar biasa, pada saat orang lain diam semua. Dan ketika itu, Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu adalah pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng dan sekaligus Pengurus besar Nahdatul Ulama (NU).

BACA YUK:  Kerja Sama dengan Cirebon Tiket, Sociamedic Clinic Berikan Harga Spesial Treatment Hemat

“Fatwa itu kemudian ditindaklanjuti oleh resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober, dan resolusi jihad itu kemudian disebarluaskan. Sehingga, melahirkan perlawan masyarakat Surabaya dan sekitarnya dan terjadi perang 10 November dan penjajah dapat diusir,” terangnya.

Banyak orang yang berspekulasi, kata Ma’ruf, bahwasanya yang membakar rakyat surabaya itu teriakan Bung Tomo melalui radio dengan menggemakan Allahu Akbar. Tetapi, para peneliti mengatakan, gema Allahu Akbar Bung Tomo itu hanya didengar oleh orang-orang yang memiliki radio.

“Waktu itu, yang punya radio hanya beberapa gelintir saja, karena itu tidak mungkinlah teriakan itu yang membakar  semangat santri dan masyarakat di Surabaya” jelasnya.

BACA YUK:  Pj Wali Kota Minta Perumda Air Minum Tirta Giri Nata Fokus terhadap Penurunan Tingkat Kehilangan Air

Maka yang masuk akal, tambah Ma’ruf, yang memberikan semangat itu adalah sebaran resolusi jihad yang disampaikan oleh pengurus besar NU ke cabang-cabang, ke ranting-ranting, sehingga seluruh santri bergerak pada 10 November untuk melawan penjajahan.

“Santrilah yang menggemakan takbir dan melawan penjajahan. Ini menurut penelitian yang sesungguhnya,” ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut Ma’ruf, semangat Hari Santri haruslah mendorong kita untuk memberikan sumbangan kita di dalam mengawal, menjaga negara.

“Kalau pada waktu itu mengawal negara dengan perang melawan penjajahan, maka sekarang ini tentu kita menjaga negara daripada upaya kelompok-kelompok yang akan mencederai keutuhan negara NKRI,” tandasnya. (AC212)

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *