Catatan Pemilu Antara Memilih dan Dipilih

Catatan Pemilu Antara Memilih dan Dipilih

Oleh : Bakhrul Amal

 

Mail : ini tahun pemilu kang, kalo ada orang yang tiba-tiba pura-pura baik harus   hati-hati !!

Beni :  kenapa kang?

Mail :  Biasanya itu caleg, yang mau membeli suara kita dengan janji-janji atau uang

Beni :  oh….zzz ## $$@@@…

 

Setiap orang cenderung lebih mudah mengingat hal yang buruk dibandingkan kenangan-kenangan yang baik, begitupun Mail. Ketika dia bercerita dan berbicara dengan penuh keyakinan bahwa “ditahun politik biasanya banyak orang yang pura-pura baik”, sesungguhnya secara sadar, dia sedang mengaktualisasikan pengalamanya. Pengalaman Mail akan “kepura-pura-an orang baik” tentunya mengindikasikan bahwa itu adalah pengalaman yang buruk, pengalaman tentang suatu keadaan dimana Mail pernah dibohongi oleh “kebaikan tahunan”. Dalam hal ini, yang memberikan Mail kenangan pahit tersebut adalah Calon Legislatif (Caleg).

Sudah hampir dua kali, Indonesia melaksanakan pemilihan umum calon legislatif  dengan sistem demokrasi yang terbuka. Namun, selama itu pula, rakyat Indonesia tidak pernah merasa puas dengan kinerja legislatifnya. Alasan kekecewaanya pun bermacam-macam, dari mulai seringnya muncul gambaran legislatif yang tidur ketika sidang paripurna, hingga perbuatan yang tidak bermoral. Bentuk kekecewaanya pun tidak kalah bervariasi, dari mulai mengumpat di depan layar telivisi hingga demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR. Tidak jarang bahkan, legislatif oleh masyarakat dijadikan kambing hitam dari kebobrokan yang terjadi di Indonesia.

Meskipun masyarakat kerap kali dibohongi, akan tetapi dari tahun ke tahun nyatanya wajah meriah pemilihan umum tidak pernah berubah, bahkan terus menunjukan tingkat kemegahannya. Dulu, tentu kita masih ingat bagaimana kampanye calon legislatif hanya berupa selebaran kertas, pawai motor atau penyuluhan di kantor kepala desa. Namun saat ini, kampanye itu berubah dengan drastis, baliho-baliho besar di pinggir jalan, iklan di televisi hingga pohon yang tak tahu-menahu ikut diajak kampanye dengan ditempeli wajah para calon legislatif. Dari kenyataan yang hidup dimasyarakat itu artinya ada dua situasi yang paradoks didalam satu perayaan yang sama.

Masyarakat dan calon legislatif sejatinya memiliki posisi yang sama dalam bingkai Negara Indonesia, yaitu sama-sama rakyat Indonesia. Terlepas dari jabatan dan pekerjaan yang diemban, selama masih tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka statusnya adalah sama yaitu rakyat Indonesia. Bila hendak dikatakan secara kasar, mereka hanya berubah status selama pemilihan umum, yaitu sisi yang satu berada pada posisi dipilih dan disisi yang lain berada pada posisi memilih.

CATATAN YANG PERTAMA

Dalam ilmu politik dikenal suatu teori yang kita sebut dengan kesepakatan dalam lingkup kontrak sosial. Teori ini, menurut Plato muncul manakala ada dua orang atau lebih, dimana yang satu bertindak sebagai pemimpin yang satu lagi bertindak sebagai rakyat, kemudian mereka saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu kewajiban dan memenuhi hak diantara keduanya. Menjelang pemilihan umum, secara unconscious (tidak sadar) masyarakat dan legislatif yang mereka pilih tengah melakukan suatu kontrak sosial. Bentuk dari hak dan kewajiban diantara keduanya memang tidak tertulis dalam sebuah kontrak, tetapi secara kasat mata, janji itu terlihat dari keadaan dimana masyarakat diminta untuk “memilih” dan legislatif yang dipilihnya itu diwajibkan “bertindak” sesuai janji yang mereka tulis dipamflet dan baliho.

Jika dilihat dari kacamata hukum, ketika legislatif menawarkan visi dan misinya lalu kemudian masyarakat sepakat dan memilih, maka kesepakatan diantara keduanya telah memenuhi unsur perjanjian dalam KUHPer pasal 1313. Perjanjian secara tidak sadar keduanya sesuai dengan azas perjanjian konsensuil, dimana suatu perjanjian muncul dengan adanya kesepakatan. Lagi-lagi namun, dalam perjanjian ini pihak yang tidak memenuhi prestasinya kadangkala tidak dapat digugat. Entah kenapa, padahal legislatif bukanlah seperti apa yang disebut oleh Giorgio Agamben dengan Homo Sacer yaitu orang yang disakralkan dan kebal hukum.

CATATAN KEDUA

Dalam memilih dan dipilih, selalu ada satu kesimpulan yang mengikutinya yaitu kepantasan. Seorang laki-laki tidak mungkin memilih seorang wanita bila tidak dianggap pantas mendampinginya, begitupun sebaliknya. Dalam wacana pemilihan calon legislatif pun tidak berbeda jauh. Masyarakat tidak akan mau memilih apabila calon legislatif itu tidak pantas mewakili mereka di ruang terhormat. Oleh karenanya, tidak jarang legislatif memunculkan gelar, keturunan bahkan track record hidupnya untuk dipilih dan dipercaya oleh masyarakat lima tahun kedepan.

Dalam dunia masyarakat global, track record, keturunan dan gelar tidak lagi menjadi suatu prioritas penting masyarakat dalam memilih. Karena, masyarakat cenderung lebih mementingkan bukti daripada apa yang dituliskan dalam sebuah selebaran kertas atau baliho. Bila yang sudah pernah menjabat, tentunya masyarakat akan mampu menilai kinerjanya. Sementra bagi yang belum, masyarakat biasanya hanya memiliki dua pilihan yaitu yang sering hadir dan diketahui kerjanya di masyarakat atau yang memberikan mereka bukti secara cepat. Bukti cepat itu biasanya identik dengan uang atau pembangunan jembatan, jalan dan fasilitas berkumpul masyarakat.

Yang pertama yaitu dengan uang. Hal ini jelas salah dan tidak memenuhi kaidah aturan pemilihan umum yaitu melakukan apa yang disebut dengan money politics. Dalam norma hukum seharusnya yang memberi dan menerima dapatlah dihukum karena telah merusak citra demokrasi pemilihan umum.Sementara yang kedua, masyarakat harus sadar betul, sekalipun bukti instan itu ditunjukan dengan cepat dan singkat tetapi kadangkala kerugian selama lima tahun kedepan lebih besar. Mereka dimanjakan dalam waktu yang kadangkala kurang lebih dua sampai tiga bulan, tetapi dikhianati dan dicuri suaranya untuk disengsarakan lima tahun kedepan. Dengan pola yang berulang ini, sejatinya masyarakat harus mulai cerdas dapat membaca gelagat ini.

CATATAN KETIGA

Mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Mail kepada Benny, kita harus waspada terhadap orang yang pura-pura baik dalam kurun waktu pemilihan umum. Karena biasanya, mereka adalah orang yang membeli suara kita untuk kemudian membuat kita menjadi bisu karena telah dibeli suaranya.

Orang yang serius bertindak mensejahterakan rakyat, tidak akan mungkin hadir hanya untuk melakukan penyuluhan atau membagikan kalender. Orang memiliki komitmen memperjuangkan rakyat tidak mungkin menggunakan pohon untuk kampanye agar dirinya dikenal. Orang yang serius adalah orang yang kemudian dia menjadi calon legislatif tetapi keluar dari gambaran dipamflet dan balihonya. Mereka yang berkomitmen pasti akan menampakan wajahnya dimasyarakat dengan menjual ide, pemikiran dan gagasanya disetiap waktu dan mereka senantiasa hadir disekeliling masyarakat.

PIDATO SLAVOJ ZIZEK

Slavoj Zizek adalah seorang filsuf dan kritikus asal Slovenia. Dia bergerak dalam bidang Psikoanalisis meneruskan gagasa Jacques Lacan filsuf asal Prancis. Di tahun 2011 dia pernah diundang oleh sekumpulan pemuda Amerika Serikat untuk menyampaikan opininya dalam acara occupy wall strett. Dia mengatakan bahwa (kurang lebihnya) “mereka yang menyebut kita pecundang itu sesungguhnya mereka itulah yang pecundang. Mereka bekerja dengan keringat dan gaji yang diberikan oleh kita tetapi tidak mewakili kita. Jangan sampai kita tertipu dengan memberikan uang kita melalu pajak untuk memilih orang yang justru menyengsarakan kita”.

Slavoj Zizek pun mengenalkan suatu teori yang dia sebut dengan counter-intuitive observations. Suatu teori yang mana dia gambarkan bahwa kita seolah diberikan tawaran visi misi berupa sistem yang membawa perubahan dengan cepat. Akan tetapi pada kenyataanya kita tidak lebih seperti seorang yang menekan tombol penutup pintu lift. Seberapa sering dan cepat pun kita menekan tombol itu, pintu lift akan menutup sesuai dengan sistemnya. Maksudnya adalah, kita (dengan memilih caleh yang menawarkan perubahan) seolah telah melakukan suatu ikhtiar agar kesejahteraan datang dengan lebih cepat. Tetapi sesungguhnya, kita tidak lebih dari melakukan hal yang percuma dan tidak berdampak apa-apa dengan memilih.

Obrolan antara Mail yang berbagi pengalama buruknya kepada Beni adalah obrolan yang mengajarkan kita suatu pengalaman. Obrolan yang biasa kita dengar di tengah-tengah masyarakat ini, layaknya mampu menjadi pecutan bagi masyarakat sendiri maupun calon legislatif. Tujuanya adalah untuk membenahi diri dan membuka wawasan dengan lebih luas guna tercapainya kualitas yang baik dalam memilih dan dipilih. Bagi calon legislatif, dalam kriteria yang nyata, untuk menjadi suatu abdi masyarakat tidak bisa dilakukan dengan tidak serius tetapi harus dengan keteguhan hati dan niat yang benar-benar tulus. Selain itu pula, bagi masyarakat, pengalaman pemilu sebelumnya akan menjadi baik apabila dijadikan amunisi untuk memilih wakil yang tepat dan sesuai dengan kriteria.

 

Penulis adalah asisten peneliti di Satjipto Rahadrjo Institute dan Pendiri Komunitas DIALOG Kota Cirebon.

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *