Berangkat Naik Haji dari Kampung Panjunan

Penulis : Syaeful Badar (Marbot Masjid Raya At Taqwa dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Di Panjunan, pada abad ke 17 Masehi hilir mudik orang dari berbagai daerah di sekitar wilayah Kesultanan Cirebon menuju Kampung Arab Panjunan. Mereka adalah para calon jamaah haji yang akan berangkat menumpang kapal laut dari Pelabuhan Talang Kesultanan Cirebon. Seperti biasa setiap bulan Sya’ban dalam hitungan tahun hijriyah, puluhan orang dari daerah sekitar wilayah Kesultanan Cirebon secara rombongan berkumpul di beberapa rumah para Syekh yang tinggal di kawasan Kampung Arab Panjunan untuk persiapan keberangkatan ibadah haji ke tanah suci Makkah, Saudi Arabia.

Kawasan Kampung Arab Panjunan sejak dulu menjadi kampung pemukiman warga Timur Tengah, yaitu sejak kedatangan para ulama seperti Syekh Syarif Abdurahman, Syekh Syarif Abdurahim dan Syarifah Bagdadi, putra-putra dari Syekh Maulana Idhofi atau Syekh Datul Kahfi atau Syekh Nurjati. Kedatangan mereka ke kawasan Panjunan yang dekat dengan Pelabuhan Muara Jati, yaitu pelabuhan terbesar di Caruban Nagari membawa sekitar 500 warga dari Timur Tengah untuk bermukim di kawasan Panjunan dengan ketua rombongan adalah Syekh Syarif Abdurahman, yang selanjutnya mendapat Pangeran Panjunan.

Baca Yuk : Telusur Tajug Tua Kota Cirebon Lewat Lawang Sanga dan Kali Kriyan

Pangeran Panjunan, oleh Raja Kerajaan Caruban Nagari, Pangeran Sri Mangana Cakrabuana, diminta untuk membantu menyebarkan ajaran Agama Islam di Caruban Nagari. Maka semenjak itu kawasan kampung Panjunan menjadi pusat dakwah dan pusat ekonomi antar bangsa di Caruban Nagari, juga termasuk kawasan dakwah bagi pemeluk Islam yang akan menunaikan ibadah haji. Sebab keberangkatan para jama’ah haji biasanya melalui para syekh dan ulama yang tinggal di kawasan Panjunan. Apalagi di kawasan Panjunan terdapat masjid Abang atau Merah Panjunan yang di bangun pada tahun 1478 M oleh Syekh Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan. Masjid tersebut juga sebagai pusat dakwah Islam di Bumi Caruban Nagari.

BACA YUK:  177 Lulusan AKMI Suaka Bahari Cirebon Ikuti Sidang Senat Wisuda XXXIV

Kisah tentang para calon jama’ah haji yang berangkat dari kawasan Panjunan, cerita ini saya dapatkan ketika tahun 2006 bertemu dengan salah seorang pemilik maktab di Kota Makkah, Saudi Arabia. Tahun 2006 penulis beserta istri menunaikan ibadah haji bersama rombongan kloter jama’ah haji Kota Cirebon, penulis di minta menjadi ketua Kafilah Haji Kota Cirebon 2006 oleh Walikota Cirebon, Subardi. Tugas Kafilah adalah memimpin semua regu dan rombngan haji kloter Kota Cirebon, karena dalam Satu kloter ada regu dan rombongan. Secara kebetulan penulis regu 9, yang secara kebetulan di regu 9 itu ada pasangan suami istri yang memiliki keponakan perumpaan asal Kota Kuningan yang kini tinggal di Kota Makkah. Saat regu 9 ada Kota Makkah, suami istri yang memiliki keponakan di Kota Makkah, mengundang regu 9 untuk makan malam di rumah. Maka berangkatlah kami regu 9 memenuhi undangan tersebut.

Penulis : Syaeful Badar (Kie Gede Lawang Sanga)

Tuan rumah yang usianya diperkirakan sekitar 55 tahun ternyata menikah di kampung Panjunan Cirebon, sebut saja namanya Syekh Syarif. Dia bercerita menikah dengan gadis Sunda asal Kota Kuningan Jawa Barat. Setelah menikah Syekh Syarif di minta untuk melanjutkan usaha kakek dan abahnya untuk mengelola beberapa maktab yang ada di Kota Makkah. Maka semenjak itu keluarga Syekh Syarif bermukim di Kota Makkah. Sambil bernostalgia, Syekh Syarif bercerita masa kecil dan remaja tinggal di kampung Panjunan. Cerita pengalaman yang sampai sekarang masih terkenang, yaitu saat malam hari sekitar jam 1 malam, perut lapar, sementara makanan tidak tersedia. Tiba-tiba dari luar halaman rumah terdengan suara orang jualan sate, maka spontan buka pintu dan memanggil penjual sate tersebut, terus langsung pesan 40 tusuk. Setelah sate mateng, maka dengan lahapnya sate di makan. Melihat Syekh Syarif makan sate dengan lahapnya, penjual sate kaget dan sempat mau kabur, karena memang suasana nya sangat sepi di kampung Panjunan. Kalau ingat peristiwa tersebut Syekh Syarif tersenyum-senyum, termasuk saat cerita tersebut di sampaikan pada tamu undangan.

BACA YUK:  Pj Gubernur Jabar Ikut Jenguk Korban Luka Tabrakan Kereta Api di RS AMC Cileunyi

Tradisi orang berangkat naik haji, menurut Syekh Syarif, dulu berangkat harus sama Syekh yang tinggal di Panjunan. Biasanya, satu orang Syekh membawa 15 sampai 20 orang calon jama’ah haji dari Cirebon. Mereka berkumpul di rumah para Syekh yang ada di kampung Panjunan. Sambil menunggu kedatangan kapal merapat di Pelabuhan Talang, maka calon jama’ah haji tersebut belajar manasik haji di Masjid Merah Panjunan dan juga rumah para Syekh tersebut. Para calon jama’ah haji yang berangkat dari kampung Panjunan biasa berasal dari Majalengka, Kuningan, Indramayu, Cirebon dan beberpa wilayah sekitarnya, yang tentunya pada saat itu pemerintahan masih berbentuk Kesultanan Cirebon.

Kawasan kampung Panjunan pada saat kerajaan Caruban Nagari, memang nama Pelabuhannya Muara Jati. Diperkirakan lokasinya di kawasan Kali Bondet karena sebulum ada Kerajaan Caruban Nagari sebelumnya sudah ada Keratuan Singhapura dan Keratuan Surantaka, dengan Syahbandra Pelabuhan Muara Jati, saat itu bernama Ki Gedeng Tapa, ayah dari Nyimas Subang Larang, dan juga kakek dari Walang Sungsang atau Pangeran Cakrabuana, yang mendirikan Kerajaan Caruban Nagari. Saat Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati pada akhir abad 14 masehi, Sunan Gunung Jati membangun Pelabuhan Talang yang kini masih bisa kita lihat ada pelabuhan di kawasan kampung Panjunan. Tentunya pada saat itu Pelabuhan Talang tidak hanya sebagai pelabuhan ekspor-import tapi juga sebagai pelabuhan untuk pemberangkatan calon jama’ah haji dari wilayah Kesultanan Islam Cirebon. Hal ini tentunya yang lebih dekat adalah kampung Panjunan, lokasinya sangat dekat dengan Pelabuhan Cirebon. Bahkan ada cerita bahwa saat perluasan Pelabuhan Talang menggeser pemakaman warga timur tengah, dipindahkan ke arah selatan kesultanan Cirebon, tepatnya di kawasan Kesambi arah Cirebon Girang, yaitu pemakaman Jabang Bayi namanya.

BACA YUK:  Selama Februari 2024, Satresnarkoba Polresta Cirebon Ungkap 10 Kasus Sabu-sabu, Ganja, hingga Obat Keras Terbatas

Kampung Panjunan berkembang tidak hanya sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai pusat dakwah pada saat Kerajaan Caruban Nagari di pimpin oleh Pangeran Cakrabuana. Banyak santri yang belajar bersama Pangeran Panjunan, karena memang salah satu tujuan kedatangan putra-putri Syekh Nurjati ke Caruban Nagari adalah untuk membantu dakwah agama Islam di Kerajaan Caruban Nagari. Maka sejak kedatangannya putra-putri Syekh Nurjati, kawasan Panjunan menjadi pusat dakwah yang ramai di datangi santri dari berbagai wilayah dengan menjadikannya Tajug Abang atau Masjid Merah Pangeran Panjunan sebagai tempat untuk berdakwah. Sejak itu kampung Panjunan ramai di kunjungi orang dari berbagai wilayah untuk bertransaksi ekonomi juga untuk belajar agama Islam.

Kampung Panjunan

Masjid Pangeran Panjunan atau masjid Abang atau masjid Al-Athyah terletak di terletak jalan Panjunan masuk wilayah kelurahan Panjunan kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon, adalah salah satu masjid tertua  yang didirikan pada tahun 1478 M oleh Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan putra dari Syekh Nurjati, menjadi tempat musyawarah dan pertemuan para wali penyebar ajaran Islam di Nusantara. Saat Panembahan Ratu, tahun 1549 dibangunlah kuta kosod disekeliling bangunan masjid, dengan gerbang berbentuk candi bentar dan daun pintu terbuat dari kayu jati berukir. Bersambung (Jum’at Depan Kita Kupas tentang Panjunan Sentre Industri Kerajinan Gerabah).

Bagikan:

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *